Tangan
Allah
Pada pembahasan-pembahsasan kelompok jahmiyah
telah mengingkari bahwa Allah dapat dilihat di surga. Dan penentangan mereka
ini hanya berdasarkan dalil akal semata yang sangat lemah dan tidak bisa
dijadikan sandaran dalam keyakinan seorang muslim. Yang paling selamat adalah
sebagaimana perkataan Abdullah bin Abdi Daud, fa qul mitslama qod qola fii dzaka tanjahu (katakanlah seperti apa
yang telah mereka katakan dalam perkara ini maka engkau selamat). Maksudnya adalah
mengikuti para sahabat yang mengambil perkataannya dari Rasulullah SAW.
Mengapa mengikuti perkataan sahabat
yang meriwayatkan dari Rasulullah merupakan jalan keselamatan, hal ini
dikarenakan NAbi Muhammad SAW tidaklah berkata-kata melainkan setiap yang
dilakukan merupakan wahyu dari Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT :
Dengan ayat tersebut, maka perkataan
Nabi Muhammad SAW adalah suatu kebenaran dan tidak ada keraguan keraguan
sedikitpun atasnya. Namun perlu diperhatikan bagi setiap muslim untuk
membersihkan diri dari hadits-hadits yang dha’if
(lemah) lebih-lebih yang maudu’
(palsu). Dan dan yang kita terima dan kita jadikan sandaran adalah hadits yang maqbul (diterima) atau yang shahih dan hasan. Dan hadits tentang melihat Allah di akhirat merupakan hadits
yang shahih bahkan mutawatir (banyak sekali yang
meriwayatkan).
Sebagaimana kelompok sesat jahmiyah
mengingkari melihat Allah di akhirat, mereka juga mengingkari sifat dzat Allah
yang berupa tangan. Mereka ingin mensucikan Allah tapi dengan memalingkan
maknanya, mereka berkata bahwa Allah punya tangan tapi maksud dan makna tangan
ini tidaklah secara hakiki, maknanya adalah nikmat Allah, atau kehendak Allah. Jadi
kesimpulannya mereka menafikan hakikat tangan Allah dan menetapkan makna yang
tidak benar. Ada
pun kebalikan dari kelompok ini adalah kelompok musyabihah, yaitu mereka
menetapkan bahwa Allah memiliki tangan secara hakikat, namun mereka
menyerupakan tangan Allah dengan tangan makhluk-Nya.
Kedua kelompok sesat di atas telah
melakukan ilhad (penyimpangan) dengan
nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang yulhiduna /menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat
Balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al A’rof: 108)
Maka Ahlus sunnah wal jama’ah dalam
masalah ini adalah tansih bila ta’thil. Maknanya, menetapkan
sifat dzat Allah yang berupa tangan tanpa menyerupakan tangan Allah dengan
tangan makhluk-Nya dan mensucikan Allah SWT dengan menetapkan tangan-Nya secara
hakiki tanpa memalingkan dengan makna yang menyimpang.
Banyak sekali nash-nash dari
kitabullah maupun sunnah rasulilah
yang shahihah menetapkan sifat dzat
Allah yang berupa tangan. Diantaranya; firman Allah SWT dalam surat Az
Zumar ayat 67 :
“Dan
mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya, Padahal
bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya. Maha suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka
persekutukan.”
Juga firman-Nya :
“Allah
berfirman : “Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu
(merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shad: 75)
Rasulullah SAW bersabda : “Tangan Allah selalu penuh, tidak kurang
karena memberi nafkah, dan selalu dermawan baik siang maupun malam.” Beliau
bersabda lagi: “Bukankah kalian telah melihat apa yang dibelanjakan –Nya
semenjak Dia menciptakan langit dan bumi, dan tidak berkurang sedikit pun apa
yang di tangan-Nya?” Beliau bersabda lagi : “Arsy-Nya di atas air, dan tangan-Nya yang lain memegang timbangan,
yang terkadang Ia rendahkan atau tinggikan.” (HR. Bukhari)
Menetapkan tangan Allah secara
hakikat tidaklah melazimkan menyerupakan dengan tangan makhlukNya, sebagaimana
penamaan yang sama di antara makhluk Allah tidak melazimkan kesamaan bentuk dan
rupa. Ini makhluk dengan makhluk, lalu bagaimana antara makhluk dengan khalik. Kita
menetapkan bahwa Allah memiliki tangan secara hakiki sesuai dengan sifat
kesempurnaan dan ketinggian dzat-Nya dan kita tidak menyerupakakan Allah dengan
makhluk-Nya serta tidak memalingkan yang sebenarnya.