HUBUNGAN
BILATERAL INDONESIA DAN JERMAN
Antara
orang Jerman dan Indonesia terjalin sejarah yang panjang, sudah dimulai sejak
abad ke-16 ketika para pedagang Jerman yang menumpang kapal-kapal Belanda
maupun Portugis mendatangi wilayah yang dahulu dikenal dengan sebutan Hindia
Timur. Selama masa penjajahan Belanda ribuan orang Jerman datang ke Indonesia,
baik sebagai pegawai bagian administrasi di bawah Koloni Belanda, maupun
sebagai insinyur, tenaga teknis serta tidak ketinggalan sebagai peneliti dan
ilmuwan.
Industri
Jerman telah ada sejak pertengahan abad ke-19 di Indonesia. Setelah tahun 1945
para pengusaha Jerman, tenaga ahli Jerman di bidang kerja sama pembangunan
maupun bidang pendidikan dan penelitian, serta pertukaran akademis yang
intensif melanjutkan hubungan Jerman dan Indonesia yang selama ini baik.
A.
Hubungan bilateral antar kebudayaan
Perubahan situasi politik yang
terjadi sejak tahun 1998, telah membawa Indonesia pada suatu perkembangan
kebudayaan yang dinamis. Dalam hal mana Goethe-Institut Jakarta
(yang memiliki cabang di kota pelajar Bandung) mempunyai peranan penting.
Goethe Institut mengorganisir berbagai kegiatan dalam hampir segala bidang
kebudayaan, apakah itu musik, film, pameran, tari ataupun teater. Proyek-proyek
tersebut tidak terbatas hanya sebagai perantara kebudayaan Jerman, tetapi
dengan ikut sertanya seniman dan seniwati Indonesia pada lokakarya dan
semacamnya, terjalinlah suatu dialog yang hidup antar dua kebudayaan. Dalam
lingkup yang lebih kecil Kedutaan Besar Jerman juga menyelenggarakan berbagai
konser dan pameran.
Beberapa perkumpulan kebudayaan
Jerman-Indonesia juga menyelenggarakan pameran dan proyek lainnya di Jerman dan
di Indonesia. Cukup banyak seniman dan seniwati Jerman, yang terinspirasi oleh
pesona Indonesia dan kemudian dituangkan dalam karya mereka. Mereka juga
memiliki sanggar dan bengkel seni di sini. Mengikuti tradisi pelukis dan
pemusik Walter Spies (1895 – 1942) banyak di antara para seniman Jerman yang
menetap di Bali.
Satu unsur penting hubungan
kebudaayan selanjutnya adalah kerja sama di bidang perguruan tinggi. Sejak tahun
1945 kira-kira 20.000 pelajar Indonesia melanjutkan studi mereka di
Jerman. Antara banyak universitas Jerman dan Indonesia telah terjalin suatu
kerja sama yang erat dalam bidang penelitian dan pengajaran. Pemerintah
Republik Federal Jerman sangat berkeinginan, agar mahasiswa yang berkualifikasi
dapat melanjutkan studi mereka di Jerman. Meskipun mendapat persaingan ketat
dari universitas di kawasan Anglo-Saxon (negara berbahasa Inggris), sejak
beberapa waktu yang lalu di Indonesia telah berhasil dicapai suatu perkembangan
yang patut diperhatikan. Berkat usaha DAAD dan Kedutaan Besar Jerman jumlah
orang Indonesia yang melanjutkan studi mereka di perguruan tinggi Jerman yang
berjumlah 2.000 orang.
B. Hubungan ekonomi bilateral
Hubungan
ekonomi antara Indonesia dan Jerman memiliki tradisi yang baik, cukup lama dan
intensif. Jerman memiliki hubungan yang lebih tua dan lebih dalam ke Indonesia
daripada ke negara-negara lainnya di Asia Timur atau Tenggara. Sejak abad ke 16 telah banyak saudagar, ilmuwan, dokter,
misionaris, tentara dan pegawai dari Jerman yang tinggal di Indonesia. Kehadiran
perekonomian Jerman di Indonesia sudah dimuali sejak abad ke 19 (Siemens 1855,
Krupp 1876).
Perekonomian Republik Federal Jerman
terintegrasi secara internasional, tidak seperti perekonomian dari sebagian
besar negara lainnya yang tidak begitu terintegrasi ke dunia internasional. Pada saat ini
perusahaan-perusahaan Jerman menghasilkan kira-kira sepertiga omset mereka
melalui perdagangan dengan luar negeri – tendensinya naik. Masa depan lokasi
bisnis Jerman dan banyak pabrik tergantung dari perdagangan luar negeri yang
dinamis. Oleh karenanya persaingan bebas, pasar terbuka dan persyaratan yang
mendukung perdagangan dan investasi sangat menentukan.
Demi tujuan
tersebut Bagian Ekonomi Kedutaan dan Perkumpulan Ekonomi Indonesia-Jerman
EKONID berusaha menjadi kontak person yang terpenting di Indonesia bagi para
pelaku bisnis dari Jerman. Mereka juga mendapatkan dukungan dari koresponden
Kantor Federal Ekonomi Luar Negeri (bfai) yang juga berkedudukan di Jakarta,
seperti halnya Lembaga Kredit untuk Pembangunan Kembali (Kreditanstalt für
Wiederaufbau – KfW).
C. Tujuan politik pembangunan Jerman
Tujuan politik
pembangunan Jerman adalah untuk memperbaiki situasi kehidupan masyarakat,
terutama masyarakat miskin, di negara-negara mitra kami.
Politik
tersebut mengikuti cita-cita pembangunan global yang berkesinambungan, yang dimana
generasi sekarang memiliki kemungkinan untuk berkembang, tanpa membatasi
kesempatan generasi mendatang.
Pembangunan global yang
berkesinambungan mensyaratkan tiga hal penting yang harus terpenuhi:
· Pertumbuhan
ekonomi yang produktif
· Keadilan
sosial dan
· Ekologi yang
berkesinambungan
Kerjasama pembangunan membantu
penerapan ketiga tujuan ini di negara-negara mitra dengan pemberantasan
kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dengan pengembangan sektor privat
dan perlindungan dasar kehidupan alam.
Tujuan pembangunan global yang
berkesinambungan hanya akan tercapai, apabila reformasi dan penyesuaian
struktur di negara-negara industri yang diperlukan terjadi di setiap level.
Oleh karenanya usaha kami dalam (membentuk) kerjasama dengan mitra-mitra kami
harus didukung oleh para politisi di dalam negeri. Ini merupakan hal yang
terpenting yaitu mengenai kepercayaan dan juga pandangan masa depan politik
pembangunan. Selain itu, reformasi dalam negeri di negara-negara industri
memberikan ruang gerak finansial bagi kelanjutan bantuan luar negeri dalam
jangka panjang.
Politik
pembangunan merupakan tugas bersama yang memerlukan/mensyaratkan tujuan
bersama. Politik tersebut membentuk kerangka bagi kerjasama dengan
negara-negara mitra. Tujuan global tersebut ditetapkan dalam
konferensi-konferensi internasional. Masyarakat internasional telah
memformulasikan tujuan bersama mereka dalam puncak milenium di New York, dalam
konferensi PBB di Monterrey tentang pembiayaan pembangunan dan dalam konferensi
berkesinambungan di Johannesburg.
Republik
Federal Jerman telah berkomitmen untuk andil secara aktiv dalam mewujudkan
tujuan-tujuan tersebut. Program Aksi 2015 lintas instansi
merupakan instrumen sentral Pemerintah Jerman dalam rangka memenuhi
tugas-tugas tersebut. Program aksi tersebut berorientasi kepada tiga Tujuan utama
yaitu memerangi kemiskinan, mengamankan perdamaian, pelaksanaan
globalisasi dengan adil. Penanggungjawab adalah Kementrian Federal Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan (BMZ).
D. Kerja sama pengembangan politik
bersama Indonesia
Indonesia
menjadi mitra penting bagi Jerman dalam kerjasama pengembangan politik. Jerman
dengan kontribusinya sebesar 3 milyar euro merupakan mitra bilateral kedua
terbesar setelah Jepang. Termasuk dalam jumlah ini adalah kontribusi bagi
pengembangan gereja, yayasan-yayasan politik dan LSM (Organisasi
Non-Pemerintah) lainnya.Melalui instrumen multilateral seperti PBB, Bank Dunia,
ADB (Bank Pembangunan Asia) dan Dana Pembangunan Uni Eropa, Jerman juga
membantu program-program pembangunan di Indonesia dalam jumlah yang cukup
besar.
Kerjasama
antara Indonesia dengan Jerman telah terbentuk sejak tahun limapuluhan.
Aktivitas pendamping proses reformasi Indonesia terkonsentrasi dengan sangat
baik sejak beberapa tahun ini di Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta serta NTB dan
NTT dengan tingkat pembangunan yang lemah di Timur Indonesia.
Kerjasama
Pembangunan dengan Indonesia terkonsentrasi pada tiga bidang utama berikut yang
isinya telah ditetapkan dan disusun bersama-sama dengan mitra Indonesia. Naskah
strategi utama (SSP) untuk setiap bidang yang telah disusun bersama membentuk
kerangka konsep kerjasama:
·
Bidang
kesehatan termasuk keluarga berencana dan pencegahan HIV/AIDS – titik pusat
kerjasama pembangunan Indonesia-Jerman terletak pada perbaikan akses pelayanan
kesehatan yang memadai termasuk dari segi pembiayaan bagi penduduk miskin;
·
Bidang
reformasi perekonomian – kerjasama pembangunan Indonesia-Jerman terkonsentrasi
pada dukungan perekonomian regional di wilayah-wilayah dengan struktur yang
lemah dengan tujuan mencapai pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, penggunaan
sumber alam yang berkesinambungan serta mendukung instrumen pembiayaan yang
efektif;SSP bidang reformasi perekonomian.
·
Bidang
transportasi – peningkatan mobilitas bagi penduduk berpendapatan rendah menjadi
titik pusat kerjasama pembangunan Indonesia-Jerman, dimana kegiatannya
dikonsentrasikan pada angkutan penumpang kapal laut dan angkutan penumpang
jarak dekat.;SSP bidang transportasi
Dalam tema
(pokok) desentralisasi, kerjasama pembangunan Indonesia-Jerman mendampingi
proses desentralisasi yang luas di Indonesia, dimana pada tahun 2001 terjadi
pelimpahan tanggung jawab atas perencanaan pembangunan, anggaran dan personil
sekaligus dari pusat ke daerah. Untuk tema pokok ini juga telah disusun naskah
strategi.
Yayasan-yayasan
politik Jerman yang aktif di Indonesia (Yayasan Friedrich Ebert, Yayasan
Friedrich Naumann, Yayasan Konrad Adenauer, Yayasan Hanns Seidel) serta PT. Pendidikan Kelanjutan dan Pengembangan Internasional non
profit (InWEnt) dan Pusat Migrasi Internasional (CIM) juga memberikan
kontribusi yang penting, terutama dalam tema-tema tersebut.
Saat ini terdapat sekitar 32 proyek
kerjasama teknik (TZ) dan keuangan (FZ), dimana 36 tenaga ahli dipekerjakan
untuk jangka waktu lama dan sekitar 160 tenaga ahli untuk jangka waktu pendek
setiap tahunnya. Selain itu terdapat 24 tenaga ahli yang terintegrasi dan
diperoleh dari Pusat Migrasi Internasional (CIM). Dengan sekitar 20 penugasan
setiap tahun, SES membantu kualifikasi tenaga ahli dan pemimpin perusahaan
kecil dan menengah di Indonesia.
Kerjasama
personil dilaksanakan oleh PT. InWEnt non profit, Pendidikan Kelanjutan dan
Pengembangan Internasional – yang lahir dari peleburan Carl Duisberg
Gesellschaft (CDG) dan Yayasan Jerman bagi Pembangunan Internasional (DSE) –
dengan mengutamakan program yang berorientasi ke praktek. Penawaran program
yang berguna untuk meningkatkan kualifikasi bekerja ini diikuti oleh sekitar
700 peserta dari Indonesia setiap tahunnya.
Proyek skala
mikro Kedutaan Besar Jerman di Indonesia
Setiap tahun
disediakan dana kepada Kedutaan Jerman Jakarta untuk pelaksanaan proyek-proyek
berskala mikro di Indonesia. Kegiatan ini ditujukan untuk terutama memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat miskin dan sangat miskin. Proyek yang dapat dibantu
adalah proyek yang dilaksanakan oleh pihak Indonesia (LSM, gereja, komunitas
desa) dengan jumlah bantuan hingga 8.000 Euro.
HUBUNGAN INTERNASIONAL IINDONESIA –
CHINA
Hubungan bilateral antara China dan Indonesia terus
meningkat. Hal ini tercermin dari meningkatnya nilai perdagangan kedua negara,
yang pada tahun 2008 mencapai US$ 31 miliar. Dalam lima tahun ke depan,
Presiden Republik Indonesia (RI) Bapak Susilo B. Yudhoyono memperkirakan nilai
perdagangan Indonesia-China akan mencapai US$ 50 miliar. Perkiraan Presiden RI
ini dikutip oleh Duta Besar (Dubes) Republik Rakyat China untuk Indonesia Yang
Mulia Zhang Qiyue, dalam kunjungan kehormatan kepada Menneg PPN/Kepala Bappenas
Prof. Armida S. Alisjahbana, MA, Ph.D., Jumat (04/12) pukul 10.00-11.00 WIB di
Ruang Tamu Menteri.
Lebih jauh, Yang Mulia Zhang Qiyue menyatakan, peningkatan nilai perdagangan itu didasarkan pada semakin meningkatnya hubungan ekonomi Indonesia-China, yang tidak hanya meliputi bidang perdagangan barang dan jasa, tetapi juga investasi lainnya, seperti perhotelan dan jasa-jasa lainnya.
Peningkatan hubungan bilateral tersebut, sambung Dubes China ini, tidak terlepas dari terjalinnya Free Trade Asean-China. Selain itu, China menganggap Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi sangat besar. Namun untuk merealisasikan potensi itu diperlukan penghapusan beberapa hambatan, khususnya hambatan yang menyebabkan masih lambannya realisasi dana pinjaman China. Dunia usaha China yang ingin berinvestasi di Indonesia juga memerlukan jaminan dari pemerintah RI untuk menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah daerah.
Ketika menerima kunjungan kehormatan tersebut, Ibu Armida, yang didampingi Sesmenneg PPN/Sestama Bappenas Ir. Syahrial Loetan, MCP, dan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, menjelaskan kebijakan pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Tekanan pembangunan itu ditujukan pada upaya peningkatan konektivitas antar daerah, maupun konektivitas dengan perekonomian kawasan Asia. Prioritas pembangunan lainnya menyangkut pengembangan energi terbarukan, transportasi antar moda, dan peningkatan ketahanan pangan.
Ibu Armida juga menambahkan bahwa pembiayaan pembangunan Indonesia untuk jangka menengah cukup besar, sehingga perlu dilengkapi dengan sumber pembiayaan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, dalam kerangka pengembangan kerja sama strategis dengan Indonesia, Pemerintah China dapat ikut berpartisipasi. (Humas)
Lebih jauh, Yang Mulia Zhang Qiyue menyatakan, peningkatan nilai perdagangan itu didasarkan pada semakin meningkatnya hubungan ekonomi Indonesia-China, yang tidak hanya meliputi bidang perdagangan barang dan jasa, tetapi juga investasi lainnya, seperti perhotelan dan jasa-jasa lainnya.
Peningkatan hubungan bilateral tersebut, sambung Dubes China ini, tidak terlepas dari terjalinnya Free Trade Asean-China. Selain itu, China menganggap Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi sangat besar. Namun untuk merealisasikan potensi itu diperlukan penghapusan beberapa hambatan, khususnya hambatan yang menyebabkan masih lambannya realisasi dana pinjaman China. Dunia usaha China yang ingin berinvestasi di Indonesia juga memerlukan jaminan dari pemerintah RI untuk menghadapi risiko perubahan kebijakan pemerintah daerah.
Ketika menerima kunjungan kehormatan tersebut, Ibu Armida, yang didampingi Sesmenneg PPN/Sestama Bappenas Ir. Syahrial Loetan, MCP, dan Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Dr. Ir. Lukita Dinarsyah Tuwo, MA, menjelaskan kebijakan pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Tekanan pembangunan itu ditujukan pada upaya peningkatan konektivitas antar daerah, maupun konektivitas dengan perekonomian kawasan Asia. Prioritas pembangunan lainnya menyangkut pengembangan energi terbarukan, transportasi antar moda, dan peningkatan ketahanan pangan.
Ibu Armida juga menambahkan bahwa pembiayaan pembangunan Indonesia untuk jangka menengah cukup besar, sehingga perlu dilengkapi dengan sumber pembiayaan swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. Dengan demikian, dalam kerangka pengembangan kerja sama strategis dengan Indonesia, Pemerintah China dapat ikut berpartisipasi. (Humas)
HUBUNGAN INTERNASIONAL INDONESIA – BELANDA
Kunjungan
Presiden ke negeri kincir angin itu tertunda empat tahun karena menurut Juru
Bicara Kepresidenan Bidang Hubungan Luar Negeri, Teuku Faizasyah, Ratu Beatrix
sebenarnya telah melayangkan undangan pada 2006.
Kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda yang pertama kali sejak dua masa pemerintahan itu, menurut Faiza, bermakna penting untuk menghilangkan beban sejarah, sekaligus menandai kedewasaan hubungan kedua negara.
Faiza mengakui hubungan bilateral Indonesia dengan bekas penjajahnya itu sampai saat ini terganjal secara psikologis karena realitas sejarah yang dipandang berbeda oleh kedua pihak.
Namun, Indonesia-Belanda telah lama berupaya mempererat hubungan dengan menyamakan cara pandang. Ditandai dengan kehadiran Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005.
Bernard Bot juga telah menyampaikan pengakuan secara de facto atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan tersebut akan diperkuat oleh dokumen tertulis yang bakal ditandatangi Indonesia dan Belanda tentang pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ini akan menyudahi berpuluh tahun pengingkaran Belanda yang hanya mengakui penyerahan kedaulatan kepada Indonesia di Istana Dam, Amsterdam, pada 27 Desember 1949 setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.
Pengakuan tertulis yang akan ditandangani Presiden Yudhoyono dan Pemerintah Belanda awal Oktober 2010 itu, kata Faiza, telah lama dirundingkan kedua negara sejak 2009.
Pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu pun akan ditindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjiaan kemitraan komprehensif antara Indonesia dan Belanda agar kedua negara semakin mempererat dan memperluas kerjasama di masa depan.
"Yang signifikan adalah penandatanganan perjanjian komprehensif. Karena kedua negara ini bisa melihat ke depan, tidak lagi terseret-seret oleh beban sejarah dan menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," jelas Faiza.
Perjanjian kemitraan komprehensif itu pun telah melalui masa persiapan cukup lama sejak disepakati pada 13 Juni 2006 oleh menteri luar negeri kedua negara saat itu, Hassan Wirajuda dari Indonesia dan Bernard Bot dari Belanda.
Saat itu kedua menteri saling mengunjungi dan bertatap muka secara intensif guna menyusun hubungan kedua negara yang berbagi sejarah cukup panjang di belakang, namun ingin melongok jauh ke depan.
Perjanjian kemitraan intensif bertujuan mengembangkan dan memperdalam berbagai aspek hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda yang meliputi segala bidang, mulai politik dan keamanan, ekonomi, hingga sosial budaya.
Bernard Bot saat itu menilai perjanjian yang tercapai sebagai perubahan dalam hubungan antara kedua negara untuk tidak lagi melihat ke belakang pada apa yang sudah terjadi, melainkan memandang ke depan guna mencari tahu apa yang bisa dilakukan guna memperbaiki hubungan yang sudah terjalin baik antara Indonesia dan Belanda.
Bot kala itu juga mengakui peran penting Indonesia dalam forum internasional sebagai negara demokratis yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Indonesia merupakan negara Islam terbesar dengan lembaga-lembaga demokratisnya. Ini menandakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, katanya.
"Apabila negara-negara seperti Belanda dan Indonesia bisa bekerjasama, kami bisa menunjukkan kepada negara-negara lain di dunia bahwa di masa mendatang kami ingin membangun kerja sama antar agama. Selain itu, kami juga ingin menunjukkan bahwa benturan antar peradaban itu tidak perlu," katanya.
Malah sebaliknya, Belanda bisa bekerjasama untuk dunia yang damai, tutur Bot ketika mengunjungi Indonesia pada 2006.
Atas peran Bot dalam meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Belanda selama menjabat Menlu Belanda pada 2003-2007, pemerintah Indonesia pun menganugerahkan Bintang Mahaputra kepada Bot pada Oktober 2009.
Penghargaan sejenis juga diberikan Indonesia kepada dua warga Belanda lainnya pada kunjungan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda ke Den Haag pada Oktober 2009, yaitu anggota Komisi Luar Negeri Belanda Hans Van Balen, dan Presiden Organisasi Kemasyarakatan Jacques Zeno Brinj.
Hubungan Baik
Di bidang ekonomi, Indonesia dan Belanda selama periode 2004-2008 berhasil menaikkan volume perdagangan sebesar 17,38 persen meskipun sempat menyusut akibat krisis keuangan global dari 4,142 miliar dolar AS pada 2008 menjadi 3,405 miliar pada 2009.
Pada 2008, Belanda merupakan investor asing terbesar keempat di Indonesia setelah Inggris, Jerman,dan Perancis dengan nilai 89,9 juta dolar AS yang meliputi 34 proyek.
Dalam pertemuan Komisi Bersama Kerjasama Ekonomi Bilateral Indonesia-Belanda yang digelar pada Maret 2010, kedua pihak sepakat mengatasi hambatan kerjasama perdagangan dan investasi, khususnya peraturan yang diterapkan terhadap komoditi Indonesia ke Belanda dan Uni Eropa serta mengatasi hambatan investasi Belanda di Indonesia.
Dibukanya kembali rute penerbangan Garuda Indonesia Jakarta-Amsterdam sejak 2010 diharapkan memperlancar hubungan ekonomi kedua negara, sekaligus meningkatkan potensi pariwisata.
Kerjasama tersebut melengkapi kemitraan Indonesia dan Belanda yang sangat intensif di bidang pendidikan.
Belanda memusatkan kerjasama dengan Indonesia, salah satunya adalah di bidang pendidikan dengan menyediakan dana sebesar 30,8 juta Euro untuk beasiswa pendidikan tinggi pada periode 2006-2011. dengan cara itu, negeri kincir angin tersebut menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Bantuan itu masih ditambah dengan dana yang disalurkan Belanda melalui Bank Dunia guna memperbaiki pendidikan dasar dan meningkatkan kualitas kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang pada 2006 saja nilainya masing-masing 24 juta Euro dan 22 juta Euro.
Kebijakan Anti Islam
Belanda saat ini mengalami perubahan konstalasi politik pasca Pemilu terakhir karena partai berkuasa, yaitu Kristen Demokrat (CDA) hanya meraih posisi keempat sebanyak 13,6 persen.
Posisi pertama diraih Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) sebanyak 22,5 persen, disusul Partai Buruh (PvDA) sebanyak 19,6 persen, dan Partai Kebebasan (PVV) 15,5 persen.
Kesepakatan untuk menyusun kabinet minoritas Belanda telah tercapai yang terdiri atas anggota VVD dan CDA yang mendapatkan dukungan eksternal dari PVV pimpinan tokoh kontoversial Geert Wilders yang selama ini dikenal berhaluan antiIslam dan antiimigran.
Dengan demikian, kabinet minoritas VVD-CDA harus bertopang pada dukungan PVV untuk mencapai mayoritas di parlemen sehingga Wilders yang pernah menuai protes luas akibat memproduksi film "Fitna" yang bernada antiIslam diperkirakan akan mempengaruhi kebijakan pemerintahan Belanda.
Keterlibatan Wilders dalam kabinet Belanda tidak hanya dikhawatirkan oleh kelompok Muslim di Belanda, namun juga oleh Partai Buruh yang menilai kekuasaan PVV terlalu besar dengan tanggung jawab yang tidak sepadan.
Sepekan sebelum kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda, Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Junus E Habibie, dalam wawancara yang dimuat surat kabar terkemuka Belanda, "Financieele Dagblad," menyatakan kekhawatirannya atas keterlibatan Wilders dalam kabinet Belanda.
Apabila Kabinet baru Belanda itu mengikuti garis politik yang keras terhadap Islam, kata Habibie, maka hal tersebut bisa mempersulit hubungan dengan Indonesia.
Pernyataan Habibie itu menyulut kemarahan Wilders yang mengatakan seorang duta besar tidak pantas mengutarakan hal tersebut.
Wilders pun mendesak Menteri Luar Negeri demisioner Maxime Verhagen guna mempertanyakan kepada Habibie apakah pernyataan tersebut bersifat pribadi atau mewakili Pemerintah Indonesia.
"Jika benar itu atas nama pemerintah Indonesia, harus ada konsekuensi diplomatik yang diambil supaya orang Indonesia tidak terlalu nyaring bernyanyi," kata Wilders dalam Financieele Dagblad.
Verhagen pun menemui Habibie yang menghasilkan persetujuan bahwa Habibie menarik kembali pernyataannya dan agar kedua pihak tidak membesar-besarkan masalah tersebut.
Faiza pun mengatakan polemik antara Habibie dan Wilders telah berakhir dan sama sekali tidak mempengaruhi rencana kunjungan kenegaraan Presiden Yudhoyono pada 6-9 Oktober 2010 karena pemerintah Belanda amat menantikan kedatangan Yudhoyono dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambutnya.
Upaya menghilangkan beban sejarah di antara Indonesia-Belanda ternyata tidak mudah di tengah konstalasi global yang terus berubah. Kedewasaan kedua negara yang telah berbagi pengalaman sejarah amat panjang itu terus menerus akan diuji.
Kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda yang pertama kali sejak dua masa pemerintahan itu, menurut Faiza, bermakna penting untuk menghilangkan beban sejarah, sekaligus menandai kedewasaan hubungan kedua negara.
Faiza mengakui hubungan bilateral Indonesia dengan bekas penjajahnya itu sampai saat ini terganjal secara psikologis karena realitas sejarah yang dipandang berbeda oleh kedua pihak.
Namun, Indonesia-Belanda telah lama berupaya mempererat hubungan dengan menyamakan cara pandang. Ditandai dengan kehadiran Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot pada perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2005.
Bernard Bot juga telah menyampaikan pengakuan secara de facto atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pengakuan tersebut akan diperkuat oleh dokumen tertulis yang bakal ditandatangi Indonesia dan Belanda tentang pengakuan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ini akan menyudahi berpuluh tahun pengingkaran Belanda yang hanya mengakui penyerahan kedaulatan kepada Indonesia di Istana Dam, Amsterdam, pada 27 Desember 1949 setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.
Pengakuan tertulis yang akan ditandangani Presiden Yudhoyono dan Pemerintah Belanda awal Oktober 2010 itu, kata Faiza, telah lama dirundingkan kedua negara sejak 2009.
Pengakuan yang diharapkan menghilangkan beban sejarah itu pun akan ditindaklanjuti dengan penandatanganan perjanjiaan kemitraan komprehensif antara Indonesia dan Belanda agar kedua negara semakin mempererat dan memperluas kerjasama di masa depan.
"Yang signifikan adalah penandatanganan perjanjian komprehensif. Karena kedua negara ini bisa melihat ke depan, tidak lagi terseret-seret oleh beban sejarah dan menunjukkan kedewasaan hubungan kedua negara," jelas Faiza.
Perjanjian kemitraan komprehensif itu pun telah melalui masa persiapan cukup lama sejak disepakati pada 13 Juni 2006 oleh menteri luar negeri kedua negara saat itu, Hassan Wirajuda dari Indonesia dan Bernard Bot dari Belanda.
Saat itu kedua menteri saling mengunjungi dan bertatap muka secara intensif guna menyusun hubungan kedua negara yang berbagi sejarah cukup panjang di belakang, namun ingin melongok jauh ke depan.
Perjanjian kemitraan intensif bertujuan mengembangkan dan memperdalam berbagai aspek hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda yang meliputi segala bidang, mulai politik dan keamanan, ekonomi, hingga sosial budaya.
Bernard Bot saat itu menilai perjanjian yang tercapai sebagai perubahan dalam hubungan antara kedua negara untuk tidak lagi melihat ke belakang pada apa yang sudah terjadi, melainkan memandang ke depan guna mencari tahu apa yang bisa dilakukan guna memperbaiki hubungan yang sudah terjalin baik antara Indonesia dan Belanda.
Bot kala itu juga mengakui peran penting Indonesia dalam forum internasional sebagai negara demokratis yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Indonesia merupakan negara Islam terbesar dengan lembaga-lembaga demokratisnya. Ini menandakan bahwa Islam adalah agama perdamaian, katanya.
"Apabila negara-negara seperti Belanda dan Indonesia bisa bekerjasama, kami bisa menunjukkan kepada negara-negara lain di dunia bahwa di masa mendatang kami ingin membangun kerja sama antar agama. Selain itu, kami juga ingin menunjukkan bahwa benturan antar peradaban itu tidak perlu," katanya.
Malah sebaliknya, Belanda bisa bekerjasama untuk dunia yang damai, tutur Bot ketika mengunjungi Indonesia pada 2006.
Atas peran Bot dalam meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Belanda selama menjabat Menlu Belanda pada 2003-2007, pemerintah Indonesia pun menganugerahkan Bintang Mahaputra kepada Bot pada Oktober 2009.
Penghargaan sejenis juga diberikan Indonesia kepada dua warga Belanda lainnya pada kunjungan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda ke Den Haag pada Oktober 2009, yaitu anggota Komisi Luar Negeri Belanda Hans Van Balen, dan Presiden Organisasi Kemasyarakatan Jacques Zeno Brinj.
Hubungan Baik
Di bidang ekonomi, Indonesia dan Belanda selama periode 2004-2008 berhasil menaikkan volume perdagangan sebesar 17,38 persen meskipun sempat menyusut akibat krisis keuangan global dari 4,142 miliar dolar AS pada 2008 menjadi 3,405 miliar pada 2009.
Pada 2008, Belanda merupakan investor asing terbesar keempat di Indonesia setelah Inggris, Jerman,dan Perancis dengan nilai 89,9 juta dolar AS yang meliputi 34 proyek.
Dalam pertemuan Komisi Bersama Kerjasama Ekonomi Bilateral Indonesia-Belanda yang digelar pada Maret 2010, kedua pihak sepakat mengatasi hambatan kerjasama perdagangan dan investasi, khususnya peraturan yang diterapkan terhadap komoditi Indonesia ke Belanda dan Uni Eropa serta mengatasi hambatan investasi Belanda di Indonesia.
Dibukanya kembali rute penerbangan Garuda Indonesia Jakarta-Amsterdam sejak 2010 diharapkan memperlancar hubungan ekonomi kedua negara, sekaligus meningkatkan potensi pariwisata.
Kerjasama tersebut melengkapi kemitraan Indonesia dan Belanda yang sangat intensif di bidang pendidikan.
Belanda memusatkan kerjasama dengan Indonesia, salah satunya adalah di bidang pendidikan dengan menyediakan dana sebesar 30,8 juta Euro untuk beasiswa pendidikan tinggi pada periode 2006-2011. dengan cara itu, negeri kincir angin tersebut menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Bantuan itu masih ditambah dengan dana yang disalurkan Belanda melalui Bank Dunia guna memperbaiki pendidikan dasar dan meningkatkan kualitas kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang pada 2006 saja nilainya masing-masing 24 juta Euro dan 22 juta Euro.
Kebijakan Anti Islam
Belanda saat ini mengalami perubahan konstalasi politik pasca Pemilu terakhir karena partai berkuasa, yaitu Kristen Demokrat (CDA) hanya meraih posisi keempat sebanyak 13,6 persen.
Posisi pertama diraih Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) sebanyak 22,5 persen, disusul Partai Buruh (PvDA) sebanyak 19,6 persen, dan Partai Kebebasan (PVV) 15,5 persen.
Kesepakatan untuk menyusun kabinet minoritas Belanda telah tercapai yang terdiri atas anggota VVD dan CDA yang mendapatkan dukungan eksternal dari PVV pimpinan tokoh kontoversial Geert Wilders yang selama ini dikenal berhaluan antiIslam dan antiimigran.
Dengan demikian, kabinet minoritas VVD-CDA harus bertopang pada dukungan PVV untuk mencapai mayoritas di parlemen sehingga Wilders yang pernah menuai protes luas akibat memproduksi film "Fitna" yang bernada antiIslam diperkirakan akan mempengaruhi kebijakan pemerintahan Belanda.
Keterlibatan Wilders dalam kabinet Belanda tidak hanya dikhawatirkan oleh kelompok Muslim di Belanda, namun juga oleh Partai Buruh yang menilai kekuasaan PVV terlalu besar dengan tanggung jawab yang tidak sepadan.
Sepekan sebelum kunjungan Presiden Yudhoyono ke Belanda, Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Junus E Habibie, dalam wawancara yang dimuat surat kabar terkemuka Belanda, "Financieele Dagblad," menyatakan kekhawatirannya atas keterlibatan Wilders dalam kabinet Belanda.
Apabila Kabinet baru Belanda itu mengikuti garis politik yang keras terhadap Islam, kata Habibie, maka hal tersebut bisa mempersulit hubungan dengan Indonesia.
Pernyataan Habibie itu menyulut kemarahan Wilders yang mengatakan seorang duta besar tidak pantas mengutarakan hal tersebut.
Wilders pun mendesak Menteri Luar Negeri demisioner Maxime Verhagen guna mempertanyakan kepada Habibie apakah pernyataan tersebut bersifat pribadi atau mewakili Pemerintah Indonesia.
"Jika benar itu atas nama pemerintah Indonesia, harus ada konsekuensi diplomatik yang diambil supaya orang Indonesia tidak terlalu nyaring bernyanyi," kata Wilders dalam Financieele Dagblad.
Verhagen pun menemui Habibie yang menghasilkan persetujuan bahwa Habibie menarik kembali pernyataannya dan agar kedua pihak tidak membesar-besarkan masalah tersebut.
Faiza pun mengatakan polemik antara Habibie dan Wilders telah berakhir dan sama sekali tidak mempengaruhi rencana kunjungan kenegaraan Presiden Yudhoyono pada 6-9 Oktober 2010 karena pemerintah Belanda amat menantikan kedatangan Yudhoyono dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambutnya.
Upaya menghilangkan beban sejarah di antara Indonesia-Belanda ternyata tidak mudah di tengah konstalasi global yang terus berubah. Kedewasaan kedua negara yang telah berbagi pengalaman sejarah amat panjang itu terus menerus akan diuji.
No comments:
Post a Comment