Budidaya Pertanian
( Manihot
utilissima Pohl )
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
PROYEK PENGEMBANGAN
BUDI DAYA SINGKONG
VARIETAS DARUL HIDAYAH
SEBAGAI UPAYA
MENINGKATKAN TARAP KEHIDUPAN
EKONOMI PETANI,SEKALIGUS
MENGINTIP PELUANG
PENGEMBANGAN BAHAN BAKU BIOFUEL
A.PENDAHULUAN
Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pengembangan prakarsa kemandirian harus didorong
dengan cara mengembangkan berbagai potensi masyarakat, memanfaatkan
berbagai sumber daya yang dimiliki dan mengoptimalkan hasil – hasil dari
prakarsa dan pemanfaatan tersebut, sehingga berbagai upaya dimaksud harus
berujung dan bertumpu kepada kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran daerah yang
bersangkutan, berdasarkan sendi – sendi keadilan dan pemerataaan.
Salah satu upaya untuk mencapai tujuan tersebut
adalah pengembangan sector AGROBISNIS, yang memang sudah merupakan ciri utama
dan mayoritas kehidupan masyarakat di negara kita, dimana sebagian besar
penduduknya bertempat tinggal dipedesaan, dengan hidup mengandalkan dari
sector pertanian. Berdasarkan Program Menteri Pertanian dengan keputusan
Menteri Pertanian Nomor : 867/kpts/TP.240/11/98 tertanggal 4 Nopember 1998 di
Jakarta perihal PELEPASAN UBI KAYU LOKAL DARUL HIDAYAH SEBAGAI VARIETAS UNGGUL
DENGAN NAMA DARUL HIDAYAH
Hanya saja berbagai upaya yang telah dilakukan baik
itu oleh pemerintah maupun berbagai kelompok lain dalam memberdayakan sektor
Pertanian selalu terbentur pada persoalan pokok, yaitu harga jual yang selalu
rendah pada saat terjadi panen, produktifitas satuan lahan yang kecil, dan
persoalan pemasaran.
Untuk mewujudkan harapan dan tujuan tersebut,
kami BIGCASSAVA.COM atau SINGKONGRAKSASA.COM telah memulai rintisan
sejak lima tahun yang lalu, dengan mencoba mengembangkan budi daya singkong
Darul Hidayah ( Singkong Raksasa ), yang merupakan bibit unggul dari singkong –
singkong yang ada saat ini, dan telah terbiasa dibudidayakan oleh petani
secara konvensional.
Pengembangan singkong Darul Hidayah adalah
merupakan jawaban dari persoalan dan rendahnya produktivitas persatuan lahan,
dimana untuk jenis singkong konvensional biasanyan hanya dihasilkan sebesar 40
– 50 ton/ha lahan tanaman bahkan terkadang hanya mencapai 20 – 25 ton /ha lahan
tanam. Sedangkan singkong Darul Hidayah setelah melalui uji tanam atau Pilot
Project I diketahui dapat menghasilkan singkong sebagai hasil tanaman sebesar
100 – 150 ton/ha lahan tanam. Bahkan sejak bulan April 2006 sampai dengan
September tidak turun hujan ( kemarau ) singkong Darul Hidayah tetap berkembang
panjang umbinya mencapai satu meter per batang ubi kayu , Bahkan tidak
sedikit jenis singkong Konvensional yang mati daun dan batang sehingga gagal
panen.
Selain itu BIGCASSAVA.COM memilih komoditas
singkong sebagai garapan utamanya didasarkan pada hasil survey dan analisa
market, bahwa kebutuhan berbagai jenis industri yang memanfaatkan singkong
sebagai singkong sebagai bahan bakunya sangat besar, seperti industri makanan,
industri farmasi, industri kimia, industri bahan bangungan, industri kertas,
Industri BIOFUEL. Akibatnya beragamnya jenis industri yang memanfaatkan
singkong sebagai bahan baku
utamanya, tidak heran kalau dari singkong dapat dihasilkan 14 macam produk
turunan. Kebutuhan bahan baku singkong
tersebut bukan hanya untuk konsumsi dalam negeri, juga untuk kebutuhan
import, dan ironisnya kebutuhan kebutuhan industri dalam negeri masih
mengimport bahan baku
industrinya, padahal bahan tersebut berasal dari bahan dasar singkong
Hal lain yang sangat penting dari budi daya singkong
ini cenderung dapat ditanam pada jenis tanah apapun di satu sisi sedangkan pada
sisi lain dapat mengoptimalkan lahan – lahan yang belum maksimal produksi,
sehingga apabila kegiatan – kegiatan tersebut tumbuh kembangkan oleh pemerintah
daerah dan masyarakatnya, akan diperoleh beberapa keuntungan yaitu :
- Dapat mencegah urbanisasi ke kota – kota besar
- Terbukanya lapangan kerja baru
- Termanfaatkannya lahan – lahan yang belum optimal produksi
- Meningktanya kesejahteraan masayarkat petani
- Meningkatkan IPM daerah Kabupaten Sukabumi
Kegiatan pengembangan Budi daya Singkong dengan
cara optimalisasi lahan – lahan yang belum dan dalam rangka membangun agro
bisnis dan agro industri yang terintegrasi, sangat sejalan dengan PERDA
Propinsi Jawa Barat No. 1 tahun 2001 Tentang rencana Strategi Propinsi Jawa
barat tahun 2001 – 2005, dimana didalamnya memuat aspek pemanfaatan lahan
tidur secara optimal guna meningkatkan prouktivitas pertanian.
B.
PELUANG PASAR, KESEMPATAN KERJA & LUAS AREAL TANAMAN SINGKONG
Sebagaimana diuaraikan di atas peluang pengembangan
usaha budi daya singkong sangat terbuka, hal ini tidak lain karena kebutuhan
produk dan beragamnya produk olahan dari bahan dasar singkong seperti Gaplek,
Chips, Pellet, tepung, dengan pangsa pasar untuk dalam negeri seperti industri
makanan & minuman ( kerupuk, Sirup), industri textile, industri bahan
bangunan ( Gips & Keramik ), Industri kertas, industri pakan
ternak, sedagkan untuk pangsa pasar luar negeri dengan tujuan eksport adalah
Negara Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Korea, China, Amerika Serikat, Jerman,
dengan pemanfaatan untuk bahan baku farmasi, bahan baku industri lem, bahan
baku industri kertas, dan bahan baku industri pakan ternak.
Potensi
Singkong
UNIDO
(UN Industrial Development Organization) atau Badan PBB di bidang Pembangunan
Industri sudah sejak awal tahun 1980-an menerbitkan beberapa laporan tentang
potensi singkong atau ubi kayu atau sampeu atau manioc, terutama
di negara berkembang seperti di Indonesia yang memiliki lahan luas dan memungkinkan,
karena permintaan pasar produk singkong tersebut dalam bentuk gaplek, tepung
gaplek, dan terutama tepung tapioka, sangat tinggi.
Dari
data UNIDO sejak tahun 1982, Indonesia
tercatat sebagai negara penghasil manioc terbesar ke-3 (13.300.000 ton) setelah
Brasil (24.554.000 ton), kemudian Thailand
(13.500.000 ton), serta disusul oleh negara-negara seperti Nigeria (11.000.000 ton), India
(6.500.000 ton), dan sebagainya, dari total produk dunia sebesar 122.134.000
ton per tahun. Walau dari hasil kebun per hektar (ha), Indonesia masih rendah, yaitu 9,4 ton,
kalau dibandingkan dengan India
(17,57 ton), Angola (14,23
ton), Thailand
(13,30 ton), Cina (13,06 ton), Brasil (10,95 ton). Tetapi, lahan yang tersedia
untuk budidaya singkong cukup luas, terutama dalam bentuk lahan di dataran
rendah serta lahan di dataran tinggi berdekatan dengan kawasan hutan.
Pada
umumnya, di Indonesia masih jarang budidaya singkong berbentuk perkebunan
dengan luas di atas lima hektar, karena umumnya masih merupakan kebun sela atau
tumpang sari setelah penanaman padi huma, kebun hortikultura, ataupun hanya
merupakan kebun sambilan, yang lebih banyak ditujukan untuk panenan
daun/pucuknya yang dapat dijual untuk lalap, urab, ataupun makanan lainnya.
Sedang dari ubinya, merasa sudah cukup hanya menjadi makanan panganan, baik
dalam bentuk keripik, goreng singkong, rebus singkong, urab singkong, ketimus,
opak, sampai ke bubuy singkong. Kadang-kadang dapat pula ditingkatkan
menjadi makanan yang lebih "bergengsi" kalau menjadi
"misro" (atau amis di jero/di dalam) atau "comro"
(oncom di jero), dan sebagainya.
Ekspor
singkong Indonesia dalam bentuk gaplek (keratan ubi singkong yang dikeringkan),
tepung gaplek, ataupun tepung tapioka cukup meyakinkan dan dapat bersaing,
seperti gaplek Indonesia yang sangat terkenal di mancanegara, terutama di
Masyarakat Eropa (ME) sehingga harganya mampu bersaing dengan produk sejenis
dari beberapa negara di Afrika, juga dari India dan Thailand, yaitu rata-rata
dengan harga 65-75 dollar AS/ton, kemudian meningkat sampai 130 dollar AS/ ton,
padahal produk yang sama dari India, Thailand, dan apalagi dari negara-negara
di Afrika, hanya mencapai 60 dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar
AS/ton.
Akan
tetapi, berbeda dengan produk tapioka, yang semula Indonesia dikenal sebagai
penghasil tepung tapioka terbaik kualitasnya, bahkan mendekati kualitas pharmaceutical
grade atau produk bahan baku untuk keperluan farmasi, tetapi tiba-tiba pada
tahun 1980-an jatuh menjadi kualitas terendah, kalah oleh produk sejenis dari
negara-negara Afrika, apalagi dari India dan Thailand.
Masalahnya adalah, bahwa di
dalam tepung tapioka hasil Indonesia
terdapat residu (sisa) pestisida yang membahayakan, bahkan di atas ambang
batas.
Memang
budidaya singkong, pada umumnya di Indonesia,
tidak menggunakan pestisida, terutama insektisida (pembasmi hama). Tetapi, mohon untuk diketahui, bahwa
pada umumnya pabrik tapioka, yaitu pengolah ubi kayu menjadi tepung, umumnya
berada di lingkungan kawasan pertanian padi, serta untuk keperluan pabrik,
sejak mencuci ubi sebelum dihancurkan (diparut), menghasilkan
"larutan" tapioka dari parutan sampai ke pengendapan dan memisahkan
larutan menjadi "bubur" tapioka, dari selokan yang keluar dari
kotakan sawah. Jadi kalau dihitung secara teoretis (on paper) penggunaan
pestisida, apakah itu organofosfor ataupun lainnya, rata-rata dua kilogram (kg)
per ha sawah, maka sisa yang terdapat di dalam air sawah, sekitar 150-200 ppm
(part per million atau 1 mg per liter). Dengan begitu, wajar saja kalau
sisa/residu tersebut akan terdapat antara 20-35 ppm pada tepung tapioka,
sedangkan persyaratan WHO harus kurang dari 0,05 ppm.
Saat
produk tapioka Indonesia jatuh dan terpuruk, maka kalau mau dijadikan komoditas
ekspor, khususnya ke Eropa, harus dijual dulu melalui Singapura, karena di
negara tersebut tapioka kita yang sudah tercemar residu pestisida akan
"dicuci" terlebih dahulu hingga memenuhi syarat, kemudian baru
diekspor ke beberapa negara di Eropa dengan nama "Made in Singapore",
padahal, kelakar banyak pakar pertanian, di Singapura tersebut jangankan ada
kebun singkong, mencari untuk obat saja sudah susah, dan baru ada di Malaysia.
Tahun
1980-an, ekspor produk singkong Indonesia,
terutama dalam bentuk gaplek dan tepung tapioka, umumnya ke negara-negara ME.
Sedangkan yang membutuhkan produk singkong Indonesia, banyak negara di luar
ME. Akibatnya keluar semacam SK Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
tahun 1990, yang menyatakan bahwa eksportir Indonesia yang mau mengekspor ke
luar ME akan dapat rangsangan 1:2, yaitu dalam bentuk mereka akan dapat jatah
ekspor ke ME sebesar dua kali jumlah ekspornya ke non-ME.
Makin
menurunnya jumlah ekspor gaplek, karena penurunan produk singkong Indonesia,
misalnya dari 17,1 juta ton tahun 1989, menjadi 16,3 juta ton tahun 1990. Ini
disebabkan pula karena konsumsi di dalam negeri untuk banyak kegunaan dalam
bentuk singkong mencapai 12,65 juta ton, sehingga sisa singkong yang akan
digaplekkan hanya sekitar tiga juta ton saja. Dengan catatan konversi
(perubahan) dari ubi singkong segar menjadi gaplek sekitar 30 persen saja.
Karena itu, tidak heran kalau ekspor juga ikut anjlok, yaitu dari sekitar
790.000 ton ke ME dan 657.104 ke luar ME hanya menjadi 122.845 ton (tahun
1989-1990). Ternyata penurunan tersebut terkait dengan banyak petani singkong
yang sudah tidak mau lagi menanam singkong; disebabkan antara lain karena
"tanah bekas" singkong menjadi lebih kurus karena selama penanaman
tidak pernah dilakukan pemberian pupuk, misalnya pupuk organik dalam bentuk
pupuk hijau (tanaman polong-polongan), serta faktor lainnya lagi, antara lain,
banyak pabrik tapioka daerah yang kemudian gulung tikar, sehingga produk para
petani kemudian banyak yang rusak, misalnya perubahan warna menjadi
kehitam-hitaman ataupun membusuk. Juga singkong untuk bahan baku tapioka berbeda dengan singkong
konsumsi, yaitu kandungan senyawa cyanida lebih tinggi dan terasa pahit.
Petani,
bukan saja disebabkan karena keterbatasan lahan untuk budidaya singkong yang
menyebabkan mereka tidak tertarik, tetapi juga karena pemasaran yang bertahap,
sehingga dari petani bernilai antara Rp 36 - Rp 50/kg segar, dan para pengumpul
menerima sekitar Rp 75-Rp 100/kg segar. Dulu ketika di hampir tiap daerah/desa
banyak bermunculan pabrik pengolah singkong menjadi tapioka, hasil jerih payah
mereka banyak membantu pendapatan.
Bahwa
bertani singkong menguntungkan, banyak dialami petani di beberapa daerah di
Jawa Barat, mulai dari Kabupaten Purwakarta, Subang, Sumedang, Tasik, Ciamis,
Garut, sampai sukabumi dan Cianjur.
Mereka
menanam singkong bukan sekadar sambilan, tetapi sudah dikhususkan pada lahan
yang sudah ada, dengan luas antara 1-4 ha, umumnya terletak di lereng
pegunungan, berbatasan dengan lahan Kehutanan/Perhutani. Lahan untuk tanaman
singkong tidak harus khusus, dan tidak memerlukan penggarapan seperti halnya
untuk tanaman hortikultura lainnya, misal sayuran. Juga selama penanaman, tidak
perlu pemupukan dan pemberantasan hama
atau penyakit.
Ternyata
hasil tiap panen (antara 5-6 bulan setelah penanaman) dari luas 1 ha akan dapat
diraih keuntungan sekitar Rp 2.500.000, yaitu dari hasil penjualan umbinya (4-6
ton) serta pucuk daunnya. Yang perlu diketahui, bahwa selama budidaya tidak
banyak pekerjaan yang harus dilakukan, misal menyiangi gulma (hama).
Tentu saja kalau hal ini dilakukan, hasilnya akan dapat lebih baik lagi.
Padahal bibit singkong yang mereka tanam masih jenis tradisi, yang hanya
memberikan hasil ubi sekitar 4-8 ton/ha.
Sekarang,
seperti yang dilakukan oleh para pengusaha singkong di daerah Lampung, Sulawesi
Selatan, serta daerah lainnya, di samping lahan yang digunakan dapat lebih dari
500 ha/kebun, bahkan ada yang mencapai ribuan ha, juga bibit singkong umumnya
merupakan bibit unggul seperti Manggi (berasal dari Brasil) dengan hasil
rata-rata 16 ton/ha, Valenca (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 20
ton/ha, Basiorao (berasal dari Brasil) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Muara
(berasal dari Bogor) dengan hasil rata-rata 30 ton/ ha, Bogor (asal dari Bogor)
dengan hasil rata-rata 40 ton/ha. Bahkan, sekarang ada pula jenis unggul dan
genjah (cepat dipanen), seperti Malang-1, dengan produksi antara 45-59 ton/ha
atau rata-rata 37 ton, Malang-2, dengan produksi rata-rata antara 34 - 35
ton/ha.
Semakin
banyak petani berdasi yang saat ini mulai melirik budidaya singkong dengan luas
tanam di atas 50 ha, terutama di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan, karena
permintaan produk, terutama dalam bentuk gaplek, tepung gaplek dan tepung
tapioka, terus meningkat dengan tajam. Serta produk olahan singkong Indonesia,
terutama dalam bentuk gaplek dan tepung gaplek, dapat bersaing dengan
produk sejenis dari negara-negara di Afrika, juga dari Thailand dan India. H
UNUS SURIAWIRIA, Bioteknologi dan Agroindustri, ITB
C. MENANAM BENSIN DIKEBUN SINGKONG
[ ilmu &
Teknologi, Gatra No:13 Beredar senin, 7 Februari 2006]
MENTERI Riset Dan Teknologi Kusmayanto Kadiman
ternyata bisa juga jadi supir, Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung itu
tanpa canggung duduk dibelakang setir Land Rover Discovery. Penumpangnya
Direktur Jenderal Industri Kimia dan Direktur Jenderal Migas. Mobil kelas atas
ini meluncur dari Gedung BPPT di jalan M. H. Thamrin menuju Monumen Nasional,
lalu kejalan Jenderal Sudirman dan Memutar lagi di Jembatan semanggi balik lagi
ke BPPT.
Tak lama Kusmayanto jadi supir kamis terakhir
dibulan Januari itu hanya memamerkan kinerja mobil
berbahan bakar Singkong Tapi demo Kusmayanto belum
berakhir”Saya akan Promosikan ke Istana Negara,”katanya . Namun sebelum
beranjak ke Istana rupanya gayung sudah bersambut oleh Gubernur Sutiyoso. Ia
akan menjajaki penggunaan “ Bensin Singkong “ itu untuk taksi di Jakarta.
Bensin Singkong? Tepatnya bensin dioplos alcohol
yang dibuat dari ubi kayu. Di dunia dikenal dengan sebutan gasohol
atau gasoline-alkohol. Penelitian gasohol giat dilakukan
untuk mengurangi ketergantungan pada bensin yang diyakini bakal habis
ditambang. Salah satunya alternatifnya mencampurkan etanol kedalam bensin.
Etanol mengandung 35 % oksigen, sehingga meningkatkan efisiensi pembakaran.
Juga menaikkan Oktan, seperti zat aditif ( methyl tertiary buthyl ether –
MTBE) dan tetra ethyl lead (TEL) yang umum dipakai berbeda dengan TEL,
Etanol bisa terurai sehingga mengurangi emisi gas buang berbahaya.
Tak mengherankan pemakain Etanol di dunia makin dan
makin Besar, Produksi etanol dunia untuk bahan bakar diduga bakal meningkat
dari 19 Milyar liter ( 2001) menjadi 31 Milyar liter ( estimasi 2006). Beberapa
Negara di Brasil, Amerika Serikat, Kanada. Uni Eropa dan Australia
sudah menggunakan campuran 63% etanol dan 37% bensin. Sedangkan yang mengisi
tangki Land Rover Pak Menteri itu adalah gasohol Be-10, artinya porsi Bioetanol
10 % dan Bensin 90 %. Dengan porsi 10 % kerja mesinnya bisa optimal, “kata Agus
Eko Tjahyono. Kepala Balai Besar Teknologi Pati, Lampung.
Di Indonesia sendiri gasohol bukan barang baru, di
Lampung, gasohol sudah bertahun – tahun mengisi tangki mobil dan motor para
pegawai Bali Besar. Tapi tak pernah dilirik pejabat Jakarta.
Teknologi ini mulai diteliti Balai Besar sejak 1983 dengan bantuan teknis dari
lembaga penelitian Jepang,JICA. Mereka terus mengembangkan teknologi itu dengan
tekad mengubah sumber pati tak berharga itu – di lampung, tiap kilogramnya,
harganya tak lebih dari harga sepotong ubi goreng di Jakarta – menjadi bahan bakar bernilai
tinggi. Hasilnya ?”sekarang, gasohol ubi kayu kami termurah didunia. “kata Agus
Eko Tjahyono.
Sumber Bioetanol memang tak Cuma singkong, bisa
juga tebu,sagu,jagung,gandum,bahkan limbah pertanian seperti jerami. Di Amerika
yang banyak dipakai sebagai sumber pati adalah jagung,tapi Agus yakin bahan
bakar Bakar alternative dari singkongnya mampu bersaing di pasar.
Teknologi kami makin efisien. Ongkos Produksi lebih
murah dari minyak tanpa subsidi, “ katanya untuk skala kecil, kapasitas 60.000
liter per hari biaya produksinya Rp. 2.400, lebih rendah dibandingkan dengan
bensin yang berkisar Rp. 2.600. Menurut Agus, Gasohol juga bisa mensejahterakan
Petani. Contoh tahun 2004, konsumsi bensin 15 Juta Kilo liter. Jika 20 %nya
diganti gasohol BE-10, berarti menghemat 3 juta kiloliter bensin. Setiap liter
alcohol. Dihasilkan dari 6,5 Kilogram Singkong artinya butuh 2 juta ton
singkong dari lahan 100.000 hektare.
Apabila menggunakan singkong Varietas unggul Darul
Hidayah hanya memerlukan lahan seluas 13.500 Ha. Dengan menanam singkong
Varietas unggul dapat mengefisiensi :
- Lahan
- Bibit
- Pupuk
- biaya garapan( olah lahan )
- penyiangan rumput
- biaya panen
- biaya angkut
- Hasil panen lebih optimal dalam waktu yang lebih singkat sebesar 100 sampai 150 ton dalam jangka waktu 1 tahun, dari pada singkong konvensional panen dengan hasil 100 - 150 ton dalam jangka waktu 4 tahun
Sedangkan untuk kebutuhan tersebut utnuk memenuhi
pasokan kebutuhan lokal saja BIGCASSAVA.COM hanya mengambil 30 % dari
kebutuhan yang ada atau sekitar 100 ton singkong segar/hari. Apabila target 100
ton singkong segar / hari diolah dalam bentuk chips singkong sebagai bahan
½ jadi, maka bila 50% dari 100 ton diolah dengan cara padat karya,
berdasarkan pengalamn Pilot Project I per orang setiap harinya mampu menghasilkan
Chip singkong segar sebanyak 300 Kg, artinya apabila setiap harinya dilakukan
produksi chip sebesar 50 Ton atau 50.000 kg berarti menyerap tenaga kerja
sebanyak 167 orang pekerja/hari, dengan upah chips sebesar Rp. 6.000/100.
Dengan demikian seorang tenaga kerja chips yang bekerja dari jam 07.00 pagi s/d
13.00 siang akan memperoleh pendapatan sebesar Rp. 18.000/orang/hari.
Untuk mendukung Program pengembangan budi daya
tanaman singkong Darul Hidayah di Kabupaten Subang sehingga dapat terlaksana
sebagaimana yang direncanakan, maka diperlukan suatu upaya yang terintegrasi
dan Sinergis antara Kopersai, Petani, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi
maupun Pemerintah Pusat, agar dapat tujuan pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat petani dapat tercapai. Salah satu upaya yang harus dilaksanakan
adalah dengan cara memanfaatkan lahan – lahan tidur baik yang dikuasai Pemda
maupun dinas Perkebunan juga Dinas Kehutanan. Dimana berdasarkan hasil
survey dan pertemuan dengan beberapa instansi terdapat ribuan Ha lahan
yang menganggur tidak dimanfaatkan secara optimal.
Untuk pupuk kandang BIGCASSAVA.COM telah
bekerjasama dengan Koperasi Susu Perah Gunung Gede
Sukabumi& Peternak Ayam potong di Warung Kiara Kabupaten Sukabumi
Pemasaran singkong (segar, Gaplek, tepung )
diperuntukan :
1.Pakan Ternak
Sapi Perah , yang sangat tinggi akan karbohidrat yang dapat
membantu menambah produksi susu.
2. Eksportir Gaplek Tepung untuk MEE & Asia
khususnya China
3. Pabrik Tapioka
4. Pabrik Etanol
Budidaya Singkong Mekarmanik (varietas lokal manglayang) secara intensif.
Sistem pemupukan (per Hektar)- Pupuk kandang 5 ton
- Pupuk Kimia (N : P : K) terdiri dari Urea 100kg, TSP 60 kg dan KCL 100 kg
( Awal tanam 1/3 : 1 : 1/3, umur 3 bulan ; 2/3 : 0
: 2/3)
- Pupuk hayati Golden Harvest 8 liter. ( Awal tanam 2 liter kemudian pada umur 2, 4 dan 6 bulan masing-masing 2 liter)
- Rata-rata umbi yang dihasilkan 15kg per pohon.
Data lab. Ubikayu Mekarmanik (varietas lokal
manglayang)
Pusat Penelitian Kimia - LIPI, No. 310/ULJAK/XII/2007
Pusat Penelitian Kimia - LIPI, No. 310/ULJAK/XII/2007
No
|
Jenis/Kode
Contoh
|
Parameter
|
Satuan
|
Kadar
|
Keterangan
|
1
|
Singkong
Basah
|
Air
|
% Berat
|
60,29
|
SNI
01-2891-1992
|
2
|
Pati
|
%Berat
|
34,66
|
SNI
01-2891-1992
|
|
3
|
Gula Total
|
% Berat
|
2,33
|
Luff
Schoorl
|
|
4
|
Serat Kasar
|
% Berat
|
6,61
|
AOAC
962.09(2000)
|
|
5
|
Singkong
Kering
|
Pati
|
% Berat
|
83,03
|
SNI
01-2891-1992
|
6
|
Gula Total
|
% Berat
|
3,76
|
Luff
Schoorl
|
|
7
|
Serat Kasar
|
% Berat
|
7,17
|
AOAC
962.09(2000)
|
Pemesanan bibit :
Teguh Rahayu, telp. 08122040286; email : teguh_r@smsagrobost.com
Segera hadir! Bibit Mekarmanik 2
Teguh Rahayu, telp. 08122040286; email : teguh_r@smsagrobost.com
Segera hadir! Bibit Mekarmanik 2
Ethanol Sebagai Bahan Bakar Kendaraan
|
Written by Arsjid Mulia
|
|
|
|
I.
TEROBOSAN TEKNOLOGI. Terobosan Bio –Teknologi, merupakan suatu revolusi iptek seperti ditemukannya ‘transistor’ yang merupakan pondasi dari industri microchip saat ini, ditemukannya ‘petroleum cracking’ yang mengembangkan industri BBM dan ‘petrokimia’, dan ditemukannya mesin uap yang mengalirkan ‘revolusi industri’. PT. Sumber Daya Hijau bersama PDBI dan rekan-rekan, berusaha memanfaatkan terobosan-terobosan teknologi ini dalam industri bahan bakar kendaraan bermotor yang memakai Biomas, limbah pertanian yang ramah lingkungan sebagai bahan baku. II. ETHANOL SEBAGAI BAHAN BAKAR KENDARAAN. Ethanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor sudah dipakai sejak per-mulaan abad ke 20 di Brazil, Perancis, Jerman, Swedia, U.S.A, India, dsb. Henry Ford melihat ‘Ethanol’ sebagai bahan bakar untuk kehidupan hari de-pan namun dalam pengembangan lebih lanjut, BBM dari petroleum yang harganya lebih murah telah menjadi dominan. Kini Ethanol dipakai secara luas di Brazil dan U.S.A. Semua kendaraan bermotor di Brazil, saat ini menggunakan bahan bakar yang mengandung paling sedikit kadar ethanol sebesar 20 %. Pertengahan 1980, lebih dari 90 % dari mobil baru, dirancang untuk memakai ethanol murni. Di U.S.A , lebih dari 1 trilyun mil telah ditempuh oleh kendaraan bermotor yang menggunakan BBM dengan kandungan ethanol sebesar 10 % dan ken-daraan FFV (Flexible Fuel Vehicle) yang menggunakan BBM dengan kand-ungan 85 % ethanol (E85, lihat halaman - 2). Tahun 1999, ethanol merupakan pangsa pasar sebesar 1,2 % dari pasaran BBM. 3.1. Teknologi Revolusioner. Selama ribuan tahun, hingga kini, manusia membuat ethanol (alkohol) dari tanaman pangan yang diberi ragi, seperti buah anggur menjadi arak, barley jadi bir dan beras jadi sake, tergantung dari adat istiadat setempat. Ethanol untuk konsumsi dunia besarnya 25,6 juta ton dimana nilai untuk non-minuman bernilai US$ 10 miliar (harga sekarang). Teknologi yang kini sudah maju, bukan saja mengkonversi hasil pangan menjadi ethanol tapi mengkonversi bagian lain dari tanaman atau limbah pertanian menjadi ethanol dan produk-produk lain yang dibuat dari ethanol. Penggunaan limbah pertanian sebagai bahan baku ethanol membuat harga ethanol lebih rendah lagi. 3.2. Dengan dipakainya 2/3 lebih dari produksi dunia untuk bahan bakar kendaraan bermotor, maka ethanol adalah bahan bakar non petroleum yang terbesar didunia. Ini mencakup 41 % dari pasaran bensin di Brazil dan 1,2 % dari pasaran bensin di U.S.A. Potensi ethanol di pasaran bahan bakar kendaraan bermotor di U.S.A adalah 570 juta ton atau 100 kali dari jumlah produksi saat kini se-cara global, maka pasaran ethanol yang cukup murah (ex. limbah pertanian) diperkirakan mencapai 2.000 juta ton (sama dengan 80 kali produksi dunia sekarang). 3.3 Bahan bakar dari minyak bumi adalah sumber utama polusi, sedangkan ethanol dari pertanian (bio-ethanol) adalah bahan terbaharui (renewable), ramah lingkungan, mengurangi import BBM dan khususnya buat Indonesia mengalirkan subsidi BBM kepada para petani yang miskin (sektor yang te-pat menerimanya) melalui penciptaan lapangan kerja yang luas dan sustain-able di perkebunan tanaman energi. Proses bio dari limbah tanaman adalah permulaan dari perkembangan lebih lanjut pembuatan produk-produk seperti lactic-acid dan lain-lain bahan kimia yang bernilai tinggi. (lih.lampiran I) IV. STRATEGY. 4.1. Mempelajari teknologi-teknologi pembuatan ethanol yang siap pakai / proven. 4.2. Merencanakan dan membangun (under license) pilot project untuk menunjukan ke-ekonomian dan kelancaran operasi proses dengan teknologi yang dipilih pada butir (4.1). 4.3. Pilot Project dirancang untuk mampu mengolah multi-crops (sebagai bahan baku ethanol: singkong, jagung, bagasse, jerami). 4.4. Mengembangkan budi-daya singkong sedemikian rupa sehingga pro-duktivitas singkong menjadi tinggi dan harga singkong menjadi lebih murah, karena 60 % harga ethanol ditentukan oleh harga bahan baku. Di Thailand sedang dikembangkan pesat ‘Thermophilic Bacilli’yang mem-produksi lactate. Ini adalah bahan penting untuk membuat polymer berupa bahan plastik, seperti polyacrylate, polyactide. (lih.contoh Golf Tee dari Jagung). Pasaran lactic acid dunia bernilai US$ 80 juta. Jika harga lactic acid dapat ditekan melalui proses biomas ethanol maka industri bio-degradable plastic akan cepat berkembang luas.
MENGEMBANGKAN PRODUKTIVITAS
SINGKONG
(Bahan Baku Utama) JANGKA PENDEK 200 Ha. I. Eksperimen 2003 membuka jalan Ethanol yang murah Mengingat harga Ethanol terutama ditentukan (60%) oleh harga singkong sebagai bahan baku, maka usaha difokuskan kepada peninggian produktivi-tas per Ha, namun pendapatan petani tetap lebih baik dari yang kini ada, walau harga singkong dapat ditekan menuju ke tingkat harga Rp. 70 / Kg. Dalam th. 2003, Ir. Arsjid Mulia, Ir. Harefah, Drs. Yordan Bangsaratoe, and Tukul Sufianto (Anton) menanda tangani Perjanjian Kerja Sama untuk menanam Singkong dengan menggunakan pertanian intensif agar produktivitas tanaman singkong per Ha di Lampung meningkat. Dengan demikian pendapatan Petani diharapkan juga meningkat dan Industri Tapioka memperoleh bahan bakunya lebih cukup, namun semuanya tetap layak usaha . Ethanol bisa dibuat dengan harga dibawah Rp.1.600 / liter. Berarti sudah lebih murah dari harga bensin yang di subsidi yang kini dijual dengan harga SPBU Pertamina Rp. 1,800 /liter (Pre-mium, oktan 88) Padahal ethanol murni mempunyai angka oktan 115. Terobosan dalam pertanian ini harus menjadi terobosan bagi BPPT Sulusuban untuk men-jadi ujung tumbak dalam memproduksi bahan bakar kendaraan Ethanol Singkong dan akhirnya menjadi terobosan bangkitnya sektor riel seluruh Indone-sia. Hasil panen 5 Januari 2004 dari cultivar ‘Aldira Plus’ menghasilkan produktivitas rata-rata sebesar 20.7 Kg. per pohon, dimana hasil terbesar per pohon asalah 27 Kg umbi. (lihat foto terlampir). Usia panen adalah 12 bulan dan jumlah po-hon yang ditanam adalah 277 batang, dengan jarak tanam 1.5m x 1.0m. Produk-tivitas ini setara dengan 120 Ton / Ha. Lampung rata-rata saat ini = 12.4 ton per Ha. Kondisi tanah adalah marginal (Podzolik, merah - kuning) dan klimat tipe– C, menurut Olderman Kadar pati yang diuji: 29 % untuk usia panen 12 bulan, dan 21 % untuk usia panen 5 bulan. II. Ke-Ekonomian Dari eksperimen ini didapat perhitungan indikator keekonomian yang sangat menarik ( dari catatan biaya yang dikeluarkan dan hasil penjualan ke pabrik tapioca) Hasilnya sebagai berikut : Investasi per Ha. = Rp. 12.7 juta, siklus proyek = 3.6 tahun ( 3 x panen). IRR = 68% ; ROI = 35%; dan ROA = 85% Pendapatan petani diproyeksikan = Rp. 7 juta / tahun, (tidak memiliki lahan) Jika petani memiliki lahan 1 ha. maka pendapatannya = Rp. 11.5 juta /tahun. Harga singkong yang didapat diproyeksikan berada sekitar Rp. 70/Kg dengan pendapatan rata-rata petani = Rp. 7.9 juta. (Lampung rata-rata Petani penghasilannya dibawah Rp. 7 juta) III. Perlu Pilot Proyek yang lebih luas (200 Ha.) Hasil dari eksperimen 2003 diatas cukup memberi harapan, oleh karena itu memerlukan konfirmasi lebih lanjut untuk penanaman le-bih lanjut pada lahan yang lebih luas, 200 Ha. Melalui kerja sama dengan partner strategik, yang mencakup budi daya singkong dan permodalan. Menurut para ahli hasil tanam pada lahan yang lebih luas biasanya akan turun karena kemampuan mengontrol pada mutu pelaksanaan budaya tanam singkong secara intensif menurun (mutu dan disiplin kerja petani). Pilot proyek ini sedang dalam persiapan. Hasil dari pilot proyek semacam ini akan sangat penting artinya, karena akan membuka jalan menuju pelaksanaan program Penciptaan Lapangan Kerja se-cara nasional, khususnya menjawab pertanyaan ‘berapa biaya yang bisa dilak-sanakan untuk menerapkannya di seluruh Provinsi Lampung’ ?, yang kemudian akan menjadi model untuk seluruh Indonesia. Untuk memperluas lapangan kerja yang berkesinambungan diselu-ruh Nusantara maka didalam: Jangka Panjang Rencana Pembangunan 380 Kilang Ethanol @ 15.000 KL tersebar di seluruh Indonesia. Sekilas tentang Arsyid Mulia: Beliau saat ini adalah direktur PT Sumber Daya Hijau yang mengkampanyaken penggunaan ethanol sebagai energi alternatif. Beliau juga menjadi PresDir PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia). Pak Arsyid Mulia adalah angkatan 1962 Teknik Fisika ITB. |
|
Last Updated ( Monday, 12 April 2004 )
|
Comments
pak......didaerah saya banyak petani singkong, tolong beri
saya desain peralatan untuk membuat ethanol skala 100 Ltr/hari..terima kasih
Posted by Khairul Bahri, on Friday, 13 June 2008 at 12:15
tolong minta cara pembuatan bioetanol singkong dan berapa
harga mesinya untuk skala industri kecil dan jualnya kemana terimakasih
Posted by erik, on Wednesday, 11 June 2008 at 10:20
saya tertarik dengan usaha bio-ethanol, saya mau bertanya:
bagaimana proses cara pembuatan bio-ethanol dan berapa harga mesin pembuatan
bio-ethanol dari skala rumah tangga sampai skala industri besar? dan satu
pertanyaan lagi: dimana?Ditoko apa? dan bagaimana saya dapat membeli mesin
pembuatan bio-ethanol? terima kasih, putra gunawan ( p_gun87@yahoo.com )
Posted by putra gunawan, on Thursday, 05 June 2008 at 5:38
minta info tentang cara pembuatan bioethanol skala
kecil,semoga dapat membantu orang yang memerlukannya.mengapa sampai sekarang
belum dijalankan proyek ini???
Posted by arief, on Thursday, 22 May 2008 at 12:31
mohon informasinya detail mengenai bau menyengat yang
diakibatkan pembangunan industri etanol? apa dampak kesehatan bagi manusia,
lingkungan dan biota sungai? bagaimana solusi untuk menghilangkan bau yg
sangat mengganggu tsb? atas perhatian dan bantuannya saya ucapkan terima
kasih
Posted by Pu3, on Monday, 28 April 2008 at 12:55
setiap sesuatu berlaku hukum sebab akibat, jika kita
mempropagandakan pemakaian bio-energi. yang nota bene barasal dari pertanian
dan perkebunan. jk lahan dan hasilnya berlomba lomba di peruntukkan untuk
bio-energi sedangkan manusia jg butuh jg untuk lahan-pertanian yg dipakai
untuk konsumsi otomtis bahan2 konsumsi harganya melambung yang disebabkan
penggunaan lahan dan hasilnya untuk bio-energi. trus bagaimn nasib
manusia/negara miskin??? harga kebutuhan pokok melambung?? manusia tahan
menghadapi panas tapi tak kan
mampu menghadapi lapar dan kelaparan?? untuk apa berbuat sesuatu yang mungkin
dari satu sudut pandang menyelamatkan dunia tapi satu sisi yg lain malah
mengorbankan orang2 kecil/kemanusiannya dengan kelaparan.., jadilah pengembil
keputusan dan kebijakan yang slalu membawa keuntungan dan kemakmuran bagi
seluruh mahluk bukan segelintir...hiduplah dengan keadilan bukan keserakahan,
kt semua bakal mati apa yang akan kt bawa saat ajal menjemput selain amal
kebajiakan tiap2 amal perbuatan kt akan dimintai pertanggung jawaban sekecil
apapun. kita diutus sbg kholifah untuk seluruh alam.
Posted by Riduwan, on Wednesday, 23 April 2008 at 8:13 |
Produksi Singkong Meningkat dengan Pupuk Organik
14 January 2007
Produksi singkong di Indonesia dapat meningkat dengan
menambahkan bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik (kompos) yang
ditambahkan ke dalam tanah berfungsi sebagai sumber unsur hara dan
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Demikian disampaikan DR.
Ir. Basuki Sumawinata dari Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu Tanah,
Institut Pertanian Bogor (IPB) dalam sebuah seminar yang diselenggarakan BPPT
di Jakarta pada Desember 2006 yang lalu.
Organisme tanah, menurut Basuki, memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Lalu, melalui asam humiknya, organisme ini dapat mempertahankan struktur tanah, sehingga sifat fisik tanah seperti infiltrasi dan drainase baik untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu, asam humik juga memegang peranan penting dalam menonaktifkan senyawa racun seperti aluminium. Sehingga walaupun tanah berjenis masam (seperti di Bogor), dengan bahan organik yang cukup tinggi, ternyata tanaman singkong dapat berproduksi dengan tinggi. Masih menurut Basuki, pada umumnya di kalangan petani berkembang pendapat bahwa singkong merupakan tanaman yang boros mengambil unsur hara. Sehingga sering menyurutkan niat investor untuk berkecimpung di bidang tanaman ini. Pendapat tersebut sejalan dengan hasil penelitian Kanapathy (1974). Pnelitian ini menunjukkan bahwa unsur hara yang keluar dari siklusnya di tanah sebagai akibat dari proses pemanenan pada tanaman singkong, lebih tinggi dibandingkan tanaman lahan kering lainnya seperti kelapa sawit, karet, atau jagung. Akan tetapi menurutnya, data penelitian tersebut sangat sulit diambil sebagai kesimpulan. Mengingat total unsur hara yang terangkut saat pemanenan sangat tergantung pada kesuburan tanah dan jumlah singkong yang diproduksi. Lalu Howler (1981), mengumpulkan informasi tentang kandungan unsur hara yang diangkut per ton singkong yang dihasilkan. Informasi itu menunjukkan bahwa jumlah unsur hara yang terangkut, erat hubungannya dengan produktivitas. Sehingga jika bagian tanaman lainnya selain umbi dikembalikan lagi ke tanah, maka unsur hara yang hilang sebenarnya jauh lebih kecil daripada tanaman seperti padi dan jagung. Apabila ampas dari proses pembuatan tepung juga dikembalikan, maka unsur hara yang hilang akibat proses produksi singkong ini sangat kecil. Hasil penelitian Nijholt (1933) juga menunjukkan bahwa produksi singkong mencapai 52 - 64,6 ton umbi. Jumlah ini sangat berbeda dengan produksi singkong di sekitar Bogor saat ini yang hanya berkisar 15-20 ton/hektar. Mengingat usaha budidaya singkong selalu menambahkan pupuk buatan dalam bentuk urea, TSP/SP 36, dan kadang-kadang KCL, maka tentunya penurunan unsur hara tanah tidak terlalu nyata. Satu-satunya kemungkinan yang dapat menjadi dasar perbedaan produktivitas singkong yang sangat nyata di Bogor menurut Bauski adalah penurunan kandungan bahan organik. Sementara itu dijelaskannya lagi, produktivitas lahan rata-rata di Thailand meningkat 15 ton per hektar pada 1995 menjadi 20,3 ton per hektar pada 2005. Hal ini juga memastikan peranan pemberian bahan organik ke dalam lahan budidaya singkong sangat nyata meningkatkan produktivitas. Di mana pengusaha tepung singkong di Khorat dan daerah lainnya mengkombinasikan usaha tepung singkong dengan usaha biogas dan pengembalian bahan organik hasil dekomposisi dari sistem biogas. Strategis hasilkan zat tepung Peningkatan produksi singkong merupakan tindakan yang sangat strategis. Pemenuhan zat tepung untuk konsumsi masih kekurangan. Sementara itu kebutuhan zat tepung sebagai bahan baku untuk biofuel juga sangat besar. Sebagai salah satu tanaman penghasil zat tepung utama selain beras, singkong merupakan tanaman yang sangat besar menghasilkan tepung per tahun. Selain itu dapat tumbuh di lahan yang kurang subur. Walaupun singkong merupakan tanaman yang relatif dapat tumbuh dan berproduksi pada lahan-lahan yang marginal dan telah dikenal luas di Indonesia, namun data produksi singkong di Indonesia lebih rendah daripada Thailand. Hasil ini menjadi lebih nyata bila dibandingkan dengan data rendemen zat tepung terhadap singkong. Di Indonesia, rendemen zat tepung pada singkong berkisar 16 persen – 17 persen. Sedangkan di Thailand dapat mencapai rata-rata 19 persen. Padahal varietas singkong yang ditanam umumnya sama yaitu Kasesat 4 dan UJ 4 dan 5. Iklim dan tanah bervariasi Singkong dapat tumbuh pada berbagai kondisi iklim dan tanah yang cukup bervariasi. Umumnya, para peneliti yakin dengan suhu tanah rata-rata di atas 18 derajat Celcius. Sedangkan kebutuhan curah hujan minimum harus di atas 1000 mm. Meski demikian ada juga yang berpendapat bahwa singkong dapat tumbuh dengan baik pada lahan bercurah hujan lebih rendah dari 1000 mm asalkan dua bulan pertama dari penanaman tidak mengalami kekurangan air. Sebagai tanaman umbi-umbian, singkong membutuhkan drainase tanah yang baik seperti tanah bertekstur lempung berpasir sampai lempung berliat. Akan tetapi beberapa data menunjukkan bahwa tanaman singkong masih dapat berkembang baik pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi. Singkong juga jauh lebih toleran terhadap kemasaman tanah dan keracunan aluminium daripada tanaman lahan kering lainnya seperti jagung dan kedelai. Tapi, kondisi yang paling optimum adalah bila singkong berkembang pada tanah ber-pH 6 - 7. Hasil penelitian CIAT pada 1976 menunjukkan bahwa pada tanah masam, umumnya singkong mengalami hambatan pertumbuhan. Itu disebabkan keracunan aluminium atau mangan, kekurangan fosfor dan kalsium. Kurangnya pemberian bahan organik, dan tidak dikembalikannya sisa-sisa tanaman juga menyebabkan menurunnya aktivitas organisme tanah dan menurunkan kemantapan struktur tanah sehingga tanah menjadi padat. Sebagai akibatnya, akar tanaman menjadi kurang berkembang. Terlebih lagi pupuk kimia menjadi sangat beracun dan menurunkan produktivitas. Sumber: http://beritabumi.or.id/berita3.php?idberita=642 . Diedit oleh: Ardi Bramantyo |
DPD: Jadikan penggunaan energi
alternatif gerakan nasional
30 Nov 2005 09:25:51
30 Nov 2005 09:25:51
Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan mendesak pemerintah
menjadikan penggunaan energi alternatif sebagai gerakan nasional.
Menurut Ikhwan Mansyur Situmeang, Staf DPD, mengungkapkan bahwa pernyataan tersebut mengemuka dalam sesi rapat PAH II DPD. Rapat mengagendakan Laporan Tim Kerja PAH II DPD yang mengadakan kunjungan kerja ke NTT dan Lampung. Rapat PAH II berlangsung di Ruang Rapat PAH II Gedung DPD, Senayan, Senin (28/11)
Dalam laporannya, Kasmir Tri Putra (Lampung) dan M Lalu Yusuf (NTT) menyatakan, pengembangan energi alternatif yang sudah berjalan di daerah tersebut adalah minyak jarak dan briket batu bara.
Menurut Kasmir, kunjungan kerja Tim Kerja PAH II DPD ke Lampung antara lain melihat pabrik pengolahan briket batu bara dan bioethanol. Ia mengatakan, Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Lampung berhasil membuat bioetanol dari bahan baku singkong atau ketela pohon sejak 1983, bekerja sama dengan lembaga penelitian Jepang, JICA.
Bioetanol jika dicampur dengan bensin premium (komposisi 10:90) memiliki kinerja lebih baik ketimbang bensin premium maupun Petramax. Bensin campur bioetanol yang dinamakan Gashol BE-10 itu menghasilkan emisi karbon monoksida dari total hisrogen yang lebih rendah daripada yang dihasilkan besnin premium dan petramax.
"Lokasi membuat etanol dengan prinsip fermentasi ini ada di Desa Selusuban, Bandar Jaya, Lampung Tengah," tulis Situmeang dalam rilisnya.
Sebagai sumber biofuel, harga singkong Rp500 per kg merupakan nilai ekonomis yang bisa dijadikan sebagai basis harga pasar, lebih baik daripada harga pasar singkong sekarang yang hanya Rp300 per kg. Keadaan ini, kata Kasmir, patut menjadi perhatian. "Mengapa di tengah kita mencari energi alternatif tetapi yang disubsidi justru BBM yang mau digantikan?."
Kasmir juga melaporkan potensi butu bara di Lampung yang masih sangat besar, hanya saja belum dieksploitasi karena kualitas kalori batu bara yang rendah. "Kualitas batu bara seperti ini justru cocok untuk briket. Kalau bisa dikembangkan, sekaligus kita mengembangkan batu bara."
Tungku briket batu bara yang paling layak dikembangkan terbuat dari tanah liat seharga Rp40 ribu per unit. Jika ingin pengembangan tungku briket 1 juta, butuh subsidi cukup besar dengan catatan setiap keluarga mendapat 2 unit tungku.
Kasmir juga menjelaskan potensi biothermal di Lampung yang mencapai 20 titik tetapi belum dilirik menjadi sumber daya energi alternatif yang bisa dikembangkan lebih lanjut. "Jika proyek PLPB Bedugul di Bali dibatalkan, Lampung sudah siap menggantikan dengan kapasitas 400 MW. Kalau ingin dimasukkan dalam jalur kelistrikan Jawa-Bali, tinggal lempar kabel saja ke Suralaya."
Potensi yang juga belum dipahami dengan baik sebagai sumber daya energi alternatif, air di bendungan dan waduk. Menurut Kasmir, yang belum dikembangkan pemanfaatannya, waduk yang besar-besar. Jika dikampanyekan penggunaan energi alternatif ini, kata dia, banyak potensi yang bisa dikembangkan.
Anggota DPD dari Jawa Tengah, Budi Santoso dalam tanggapannya, menyinggung pemakaian briket batu bara yang bisa menimbulkan kanker paru-paru seperti di RRC.
Kasmir mengaku juga mempertanyakan masalah tersebut kepada kepala pabrik briket di Lampung. Kalau melihat hasil tungku, kata dia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekalipun bukan dalam kapasitas sebagai ahli kesehatan, hasil panas briket diyakini tak membahayakan.
Kasmir menegaskan, kampanye energi alternatif di masyarakat sudah menggaung, sehingga sangat layak menjadi isu utama DPD ke depan. "Saya cenderung ingin menjadikan ini sebagai isu utama terutama ketika DPD bertemu eksekutif, daripada ikut membahas isu lain yang hanya menjadi tong sampah DPR."
Sarwono Kusumaatmadja, anggota DPD dari DKI Jakarta menyatakan, bahan kunjungan kerja ini akan menjadi Terms of Reference (ToR) dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia setuju akan menjadikan energi alternatif sebagai isu utama DPD, karena alasan pengembangan energi alternatif ini berbasis masyarakat dan desentralisasi sumber daya energi.
Menurut Ikhwan Mansyur Situmeang, Staf DPD, mengungkapkan bahwa pernyataan tersebut mengemuka dalam sesi rapat PAH II DPD. Rapat mengagendakan Laporan Tim Kerja PAH II DPD yang mengadakan kunjungan kerja ke NTT dan Lampung. Rapat PAH II berlangsung di Ruang Rapat PAH II Gedung DPD, Senayan, Senin (28/11)
Dalam laporannya, Kasmir Tri Putra (Lampung) dan M Lalu Yusuf (NTT) menyatakan, pengembangan energi alternatif yang sudah berjalan di daerah tersebut adalah minyak jarak dan briket batu bara.
Menurut Kasmir, kunjungan kerja Tim Kerja PAH II DPD ke Lampung antara lain melihat pabrik pengolahan briket batu bara dan bioethanol. Ia mengatakan, Balai Besar Teknologi Pati (B2TP) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Lampung berhasil membuat bioetanol dari bahan baku singkong atau ketela pohon sejak 1983, bekerja sama dengan lembaga penelitian Jepang, JICA.
Bioetanol jika dicampur dengan bensin premium (komposisi 10:90) memiliki kinerja lebih baik ketimbang bensin premium maupun Petramax. Bensin campur bioetanol yang dinamakan Gashol BE-10 itu menghasilkan emisi karbon monoksida dari total hisrogen yang lebih rendah daripada yang dihasilkan besnin premium dan petramax.
"Lokasi membuat etanol dengan prinsip fermentasi ini ada di Desa Selusuban, Bandar Jaya, Lampung Tengah," tulis Situmeang dalam rilisnya.
Sebagai sumber biofuel, harga singkong Rp500 per kg merupakan nilai ekonomis yang bisa dijadikan sebagai basis harga pasar, lebih baik daripada harga pasar singkong sekarang yang hanya Rp300 per kg. Keadaan ini, kata Kasmir, patut menjadi perhatian. "Mengapa di tengah kita mencari energi alternatif tetapi yang disubsidi justru BBM yang mau digantikan?."
Kasmir juga melaporkan potensi butu bara di Lampung yang masih sangat besar, hanya saja belum dieksploitasi karena kualitas kalori batu bara yang rendah. "Kualitas batu bara seperti ini justru cocok untuk briket. Kalau bisa dikembangkan, sekaligus kita mengembangkan batu bara."
Tungku briket batu bara yang paling layak dikembangkan terbuat dari tanah liat seharga Rp40 ribu per unit. Jika ingin pengembangan tungku briket 1 juta, butuh subsidi cukup besar dengan catatan setiap keluarga mendapat 2 unit tungku.
Kasmir juga menjelaskan potensi biothermal di Lampung yang mencapai 20 titik tetapi belum dilirik menjadi sumber daya energi alternatif yang bisa dikembangkan lebih lanjut. "Jika proyek PLPB Bedugul di Bali dibatalkan, Lampung sudah siap menggantikan dengan kapasitas 400 MW. Kalau ingin dimasukkan dalam jalur kelistrikan Jawa-Bali, tinggal lempar kabel saja ke Suralaya."
Potensi yang juga belum dipahami dengan baik sebagai sumber daya energi alternatif, air di bendungan dan waduk. Menurut Kasmir, yang belum dikembangkan pemanfaatannya, waduk yang besar-besar. Jika dikampanyekan penggunaan energi alternatif ini, kata dia, banyak potensi yang bisa dikembangkan.
Anggota DPD dari Jawa Tengah, Budi Santoso dalam tanggapannya, menyinggung pemakaian briket batu bara yang bisa menimbulkan kanker paru-paru seperti di RRC.
Kasmir mengaku juga mempertanyakan masalah tersebut kepada kepala pabrik briket di Lampung. Kalau melihat hasil tungku, kata dia, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sekalipun bukan dalam kapasitas sebagai ahli kesehatan, hasil panas briket diyakini tak membahayakan.
Kasmir menegaskan, kampanye energi alternatif di masyarakat sudah menggaung, sehingga sangat layak menjadi isu utama DPD ke depan. "Saya cenderung ingin menjadikan ini sebagai isu utama terutama ketika DPD bertemu eksekutif, daripada ikut membahas isu lain yang hanya menjadi tong sampah DPR."
Sarwono Kusumaatmadja, anggota DPD dari DKI Jakarta menyatakan, bahan kunjungan kerja ini akan menjadi Terms of Reference (ToR) dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Ia setuju akan menjadikan energi alternatif sebagai isu utama DPD, karena alasan pengembangan energi alternatif ini berbasis masyarakat dan desentralisasi sumber daya energi.
TUGAS
MAKALAH
MATA
KULIAH MASALAH KHUSUS AGRONOMI
PNA
620
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SINGKONG DENGAN TEKNOLOGI MUKIBAT
SEBAGAI SUMBER BAHAN BAKU
BIOETHANOL
Oleh
:
Purwanto
07/260162/PPN/3219
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
GADJAH MADA
YOGJAKARTA
2007
- Pendahuluan
Dalam sejarah, manusia tidak pernah
lepas dari ketergantungan dengan energi. Konsumsi energi dalam jumlah besar
merupakan ciri dari peradaban modern. Sejak ditemukannya api manusia melai merekayasa
energi. Seiring dengan kebutuhan, tingkat rekayasa energi semakin besar. Hal
ini tak pelak menuntut pengeksploitasian sumber-sumber energi yang semakin
besar dan gencar. Namun hal ini masih terbatas pada sumber-sumber energi tak
terbarukan (minyak bumi, gas alam dan Batubara) (Anonim, 2007).
Sejak beberapa tahun terakhir ini Indonesia
mengalami penurunan produksi minyak nasional yang disebabkan secara alamiah
cadangan minyak pada sumur-sumur yang berproduksi. Dilain pihak pertambahan
penduduk telah mengakibatkan meningkatnya kebutuhan sarana transportasi dan
aktivitas industri yang berimbas pada peningkatan kebutuhan dan konsumsi bahan
bakar sehingga untuk memenuhinya Indonesia harus import.
Besarnya ketergantungan pada bahan bakar
import semakin memberatkan Pemerintah. Ketika harga minyak dunia terus
meningkat seperti pada saat ini mencapai 90 $ US mengakibatkan semaikin berat
beban subsidi yang harus ditanggung Pemerintah sehingga harus dikurangi dan ini
berakibat naiknya harga bahan bakar minyak.
Melihat kodisi ini, Pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2006 tentang
kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber-sumber energi alternatif
sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak. Walaupun kebijakan ini menekankan
penggunaan batubara dan gas sebagai pengganti bahan bakar minyak, kebijakan
tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan
bakar alternatif pengganti bahan bakar minyak. Selain itu, pemerintah serius untuk
mengembangkan bahan bakar nabati dengan menerbitkan INPRES No. 1 tahun 2006
tanggal 25 Juni 206 tentang penyediaan bahan bakar nabati (Biofuel)
sebagai sumber bahan bakar (Martono dan Sasongko, 2007).
Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Energi
Produksi Minyak (Liter per Ha)
|
Ekivalen Energi(kWh per Ha)
|
|
Elaeis guineensis (kelapa sawit)
|
3.600-4.000
|
33.900-37.700
|
Jatropha curcas (jarak pagar)
|
2.100-2.800
|
19.800-26.400
|
Aleurites fordii (biji kemiri)
|
1.800-2.700
|
17.000-25.500
|
Saccharum officinarum (tebu)
|
2.450
|
16.000
|
Ricinus communis (jarak kepyar)
|
1.200-2.000
|
11.300-18.900
|
Manihot esculenta (ubi kayu)
|
1.020
|
6.600
|
Saat ini teknologi yang berpeluang dikembangkan untuk pengadaan energi biofuel adalah produksi ethanol. Ethanol memiliki kandungan oksigen lebih tinggi sehingga terbakar lebih sempurna, bernilai oktan lebih tinggi, ramah lingkungan karena mengandung emisi gas karbon monoksida lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar minyak (Anonim, 2007).
Tabel. 2 Konvensi biomasa menjadi bioethanol
Kandungan gula (Kg)
|
Jumlah hasil bioethanol
(Liter)
|
Biomasa :Bioethanol
|
|
Ubi kayu 1.000
|
250-300
|
166,6
|
6,5 : 1
|
Ubi jalar 1.000
|
150-200
|
125
|
8 : 1
|
Jagung 1.000
|
600-700
|
400
|
2,5 : 1
|
Sagu 1.000
|
120-160
|
90
|
12 : 1
|
Tetes 1.000
|
500
|
250
|
4 : 1
|
Menurut Martono dan Sasongko (2007)
Indonesia memiliki 60 jenis tanaman yang berpotensi menjadi bahan bakar
alternatif diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapuk yang bisa
dijadikan biodiesel untuk bahan bakar alternatif pengganti solar; dan tebu,
jagung, singkong ubi
serta sagu yang bisa dijadikan bioethanol untuk dijadikan bahan bakar
alternatif pengganti premium. Bahan baku biofuel
yang potensial untuk diukembangkan di Indonesia terutama adalah Ubi kayu.
- Potensi Produksi Singkong Sebagai Penyedia Bahan Baku Bioethanol
Berdasarkan kontribusi terhadap produksi
nasional terdapat sepuluh propinsi utama penghasil singkong yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung,
Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Sumatera Selatan dan Yogyakarta
yang menyumbang sebesar 89,47 % dari produksi Nasional sedangkan produksi
propinsi lainnya sekitar 11-12 % (Agrica, 2007).
Indonesia
termasuk sebagai negara penghasil ubi kayu terbesar ketiga (13.300.000 ton)
setelah Brazil (25.554.000
ton), Thailand (13.500.000
ton) serta disusul negara-negara seperti Nigeria
(11.000.000 ton), India
(6.500.000 ton)dari total produksi dunia sebesar 122.134.000 ton per tahun
(Bigcassava.com, 2007).
Potensi Pengembangan ubi kayu di Indonesia masih
sangat luas mengingat lahan yang tersedia untuk budidaya ubi kayu cukup luas terutama dalam
bentuk lahan di dataran rendah serta lahan-lahan di dataran tinggi dekat
kawasan hutan. Dalam upaya penyediaan bahan baku
yang besar dan kontinu untuk bioethanol, pengusahaan ubi kayu perlu dilakukan
dalam bentuk perkebunan dengan luas areal diatas lima hektar mengingat selama ini belum
diusahakan dan masih merupakan kebun sela atau tumpangsari ataupun hanya
merupakan kebun sambilan.
Permasalahan utama dalam produksi ubi kayu
adalah produktivitas yang masih rendah yaitu 12,2 ton/ha (Agrica, 2007)
dibandingkan dengan India
(17,57 ton), Angola (14,23
ton/ha), Thailand (13,30
ton/ha) dan China
(13,06 ton/ha) (bigcasssava.com, 2007). Disamping itu, produktivitas ubi kayu
di Indonesia
masih sangat berfluktuatif. Di Daerah Istimewa Yogyakarta terutama di Kabupaten
Gunung Kidul dari tahun 1998 sampai dengan 2005 mengalami fluktuasi
produktivitas anatar 127 kw/ha samapi 174 kw/ha dan produksi tertinggi sebesar
812.321 ton (Martono dan Sasongko, 2007)
Grafik 1. Trend Luas Panen Ubi Kayu (Hektar) di
Kabupaten se Daerah Istimewa Yogyakarta
Grafik 3. Trend ProduksiUbi Kayu (Hektar) Kabupaten
Gunung Kidul
Tahun 1998 s/d 2005
Dalam upaya penyediaan bahan baku bioethanol, usaha yang perlu diperhatikan
terutama adalah peningkatan produksi dan produktivitas ubi kayu dengan masukan
teknologi budidaya
yang tepat. Rendahnnya produktivitas disebabkan oleh pengunaan varietas lama
dan produksinya masih sampingan. Oleh karena itu dalam pengusahaannya perlu
dilakukan secara perkebunan dengan bibit yang memiliki kapasitas sink
dan source yang kuat.
C. Peningkatan Produktivitas Ubi Kayu Melalui
Teknologi Singkong Mukibat
Peningkatan produksi tanaman ubi kayu
dapat dilakukan dengan pengusahaan secara perkebunan atau pengusahaan dalam
skala besar untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk bioethanol dengan arah
pengembangan di lahan-lahan marjinal. Permasalahan utama dalam produksi ubi
kayu adalah produktivitas tanaman yang masih rendah.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas
tanaman ini perlu masukan teknologi yang dapat meningkatkan hasil per tanaman
ubi kayu. Teknologi yang memungkinkan untuk di introduksi dalam rangka
meningkatkan hasil adalah dengan menggunakan klon-klon ubi kayu yang mempunyai
kapasitas sumber yang besar atau dengan kombinasi antara klon yang mempunyai
sumber besar dan lubuk yang besar pula sehingga produktivitas tanaman
meningkat, salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi mukibat.
Ubi kayu mukibat merupakan tanaman hasil
sambung atau grafting antara ubi karet sebagai batang atas dan ubi biasa
sebagai batang bawah. Pemilihan ubi karet sebagai batang atas dengan dasar
bahwa ubi karet kapasitas sumber besar, daun besar, dan warna hijau tua,
sehingga tanaman mempunyai luas daun lebih luas dan laju fotosintesis lebih
besar. Menurut Glodsworthy dan Fisher (1992) ubi kayu secara bersama-sama
mengembangkan luas daun dan akar yang secara ekonomi berguna sehingga
persediaan fotosintat/asimilat yang ada dibagi antara pertumbuhan daun dan akar.
Hal ini berarti ada indek luas daun optimum untuk pertumbuhan akar. Rekayasa
meningkatkan keseimbagan antara sumber dan lubuk dengan menggunakan teknik
mukibat diharapkan dapat meningkatkan hasil tanaman.
Karakteristik daun ubi karet dengan daun
besar dan hijau diharapkan dapat memanfaatlkan radiasi sinar matahari secara
efisien. Menurut Gardner et al., 1991) spesies tanaman budidaya yang efisien
cenderung menginvestasikan sebagian besar awal pertumbuhan dalam bentuk
penambahan luas daun, yang berakibat pemanfaatan radiasi matahari yang efisien.
Cock (1992) menyatakan bahwa beberapa sifat tipe tanaman yang akan memberikan
hasil lebih tinggi yaitu luas daun terbesar harus tidak kurang dari 500 cm2,
cabang pertama harus terbentuk enem bulan pertama setelah penanaman, dan umur
daun individual harus lebih dari seratus hari, sehingga tanaman akan memberikan
keseimbangan optimum antara luas daun (source) dan pertumbuhan akar (sink).
Dengan demikian untuk meningkatkan hasil tanaman dilakukan dengan meningkatkan
laju pertumbuhan tanaman per satuan luas daun. Penggunaan ubi karet sebagai
batang atas dengan morfologi daun yang lebih luas dan hijau berarti mempunyai
kemampuan untuk mempertahankan fotosintesisnya sampai laju maksimum untuk
jangka waktu yang panjang. Pada tanaman ubi kayu penyimpanan dalam akar terjadi
apabila daun secara fotosintesis aktif, bukan pada saat laju fotosintesisnya
menurun karena umur tanaman. Laju pertumbuhan yang meningkat akan meningkatkan
hasil umbi sampai dua kali lipat peningkatan laju pertumbuhan tanaman dan juga
akan meningkatkan LAI optimum. Menurut Alves (2002) pada tanaman singkong terdapat korelasi
yang positif antara luas daun atau lamanya luas daun terhadap hasil umbi, hal
ini mengindikasikan bahwa luas daun merupakan hal penting yang menentukan laju
pertumbuhan tanaman dan laju akumulasi fotosintat pada bagian penyimpanan pada
tanaman singkong.
Hasil penelitian Ahit et al., (1981)
menunjukan bahwa penggunaan teknologi mukibat dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan hasil yang lebih tinggi yaitu tanaman memiliki stuktur tanaman
lebih tinggi, diameter akar yang lebat dengan bobot yang lebih tinggi serta LAI
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman ubi kayu biasa. De Bruijn dan
Guritno (1990) menyatakan bahwa peningkatan produksi ubi kayu sistem mukibat
maningkat 30% dan bahkan dapat mencapai lebih dari 100 % tergantung pada
kondisi wilayah penanaman.
- Penutup
Penurunan produksi minyak bumi nasional dan
kenaikan harga minyak dunia yang semakin tinggi perlu disikapi dengan mencari
sumber energi alternatif bersumber pada bahan terbaharui atau bahan bakar
nabati. Bioethanol berbahan baku
singkong cukup
potensial untuk dikembangkan mengingat masih tersedianya lahan untuk
budidayanya dengan didukung teknologi budidaya. Teknologi singkong mukibat dapat dikembangkan untuk peningkatan
produksi singkong
untuk bioethanol. Penggunaan teknologi mukibat dapat meningkatkan produksi singkong antara 30 % sampai
dengan 100 %.
DAFTAR PUSTAKA
Agrica. 2007. Bensin Singkong. Lembaga Pers Mahasiswa
AGRICA Fakultas Pertanian Unsoed Purwokerto, Edisi XIX/Tahun XXI September
2007
Ahit, O.P.; S.E. Abit and M.B. Posas. Growth and
development of Cassava Under The Traditional and The Mukibat System of
Planting. Annal of Tropical Research 3(3): 187-198.
Alves, A.A.C. 2002. Cassava Botany and
Physiology. CAB International.
Anonim. 2007. Saatnya Eksplorasi Bahan Bakar
Hayati. http://www.bppt.go.id
Bigcassava.com. 2007. Proyek Pengembangan Budi Daya
Singkong
Varietas Darul Hidayah Sebagai Upaya Meningkatkan Tarap Kehidupan Ekonomi
Petani, Sekaligus Mengintip Peluang Pengembangan Bahan Baku Biofuel. http://www.bigcassava.com
Cock, J.H. 1992. Ubi Kayu. in Goldsworthy,
P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Gadjah
Mada University
Press, Yogyakarta
De Bruijn, G.H. and Bambang Guritno. 1990. Farmer
Experimentation With Cassava Planting in Indonesia. Departemen of
Tropical Crop Science. Wageningen
Agriculture University, Netherlands
Gardner,
F.P., R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta.
Goldsworthy, P.R. dan N.M. Fisher. 1992. Fisiologi
Tanaman Budidaya
Tropik. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Martono, B. dan Sasongko. 2007. Prospek
Pengembangan Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku
Bioethanol. http://www.diy.go.id
China Akan Garap Produk SINGKONG WonogiriOleh admin
Kamis, 18 Januari 2007 06:20:17
|
Klik: 139
|
Saat ini, jelas Budiyasa, China kekurangan bahan baku bioethanol sebanyak 3,5 juta ton/tahun.
Menurut Budiyasa, kebutuhan itu akan bisa tercukupi di tiga daerah segitiga
selatan tersebut. ”Kami sudah ke Gunungkidul dan diperoleh informasi produksi
singkong di Gunungkidul mencapai 800.000 ton/tahun. Kekurangan itu bisa ditutup
di dua daerah Wonogiri dan Pacitan.”
Lebih lanjut Budiyasa menjelaskan sistem yang dibangun adalah pola kerja sama antara BUMD dengan UKM di China. ”Kerja sama awal akan berlangsung selama tiga tahun. Tahun kedua China akan ke Wonogiri untuk menanamkan investasi dengan membangun pabrik. Pembangunan pabrik didasarkan atas tercukupinya bahan baku. Untuk bibit singkong ICSME yang menyediakan dan petani bisa membeli di BUMD.”
Konsultan Pertanian dan Pemerhati Biofuel, Suyono, memberikan analisis usaha tani budidaya ketela pohon atau singkong.
Dia mengatakan untuk setiap hektare lahan membutuhkan biaya produksi senilai Rp 5,2 juta. Pendapatan per hektare dengan produksi 20 ton mencapai Rp 12 juta, sehingga petani akan untung Rp 6,8 juta/ha.
Staf ahli utama bidang ekonomi, pembangunan dan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri, Damiri, menyatakan Pemkab menyambut positif investor negara asing. ”Bioethanol nanti menjadi sumber energi alternatif dan saat ini sepertiga kebutuhan dicukupi oleh negara Vietnam. Jadi, budi daya singkong ini cukup bagus dan menghasilkan.”
Asisten Bidang Pemerintahan dan Pembangunan, Suprapto, mengatakan produksi singkong di Wonogiri saat ini mencapai 1 juta ton per tahun.
”Ketela pohon merupakan komoditi pertanian yang cukup penting di Wonogiri. Luas areal ketela pohon di Wonogiri mencapai 73.000 ha per tahun. Saat ini, singkong dimanfaatkan untuk bahan baku industri tapioka, pakan ternak dan bahan pangan.” - tus
Lebih lanjut Budiyasa menjelaskan sistem yang dibangun adalah pola kerja sama antara BUMD dengan UKM di China. ”Kerja sama awal akan berlangsung selama tiga tahun. Tahun kedua China akan ke Wonogiri untuk menanamkan investasi dengan membangun pabrik. Pembangunan pabrik didasarkan atas tercukupinya bahan baku. Untuk bibit singkong ICSME yang menyediakan dan petani bisa membeli di BUMD.”
Konsultan Pertanian dan Pemerhati Biofuel, Suyono, memberikan analisis usaha tani budidaya ketela pohon atau singkong.
Dia mengatakan untuk setiap hektare lahan membutuhkan biaya produksi senilai Rp 5,2 juta. Pendapatan per hektare dengan produksi 20 ton mencapai Rp 12 juta, sehingga petani akan untung Rp 6,8 juta/ha.
Staf ahli utama bidang ekonomi, pembangunan dan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonogiri, Damiri, menyatakan Pemkab menyambut positif investor negara asing. ”Bioethanol nanti menjadi sumber energi alternatif dan saat ini sepertiga kebutuhan dicukupi oleh negara Vietnam. Jadi, budi daya singkong ini cukup bagus dan menghasilkan.”
Asisten Bidang Pemerintahan dan Pembangunan, Suprapto, mengatakan produksi singkong di Wonogiri saat ini mencapai 1 juta ton per tahun.
”Ketela pohon merupakan komoditi pertanian yang cukup penting di Wonogiri. Luas areal ketela pohon di Wonogiri mencapai 73.000 ha per tahun. Saat ini, singkong dimanfaatkan untuk bahan baku industri tapioka, pakan ternak dan bahan pangan.” - tus
SOLOPOS Edisi : Kamis, 18 Januari 2007 , Hal.VI
No comments:
Post a Comment